Mengurai Benang Kusut Reformasi Peradilan*
Hakim: PNS atau Pejabat Negara ?
Tribunnews.com/Bian Harnansa |
Berita terkait:
Membaca tulisan jurnalis Tribunnews.com terkait profil hakim dengan judul Hakim Albertina Ho Mantan Pelayan Warung Kopi dan Haswandi Si Hakim Penunggang Motor Butut, upaya yang patut diapresiasi dari sedikit jurnalis yang masih punya idealisme untuk menyampaikan berita yang sebenarnya dari realitas yang selama ini tertutupi oleh berita-berita yang cenderung mengeksploitasi asap pekat gerbong peradilan tanpa berupaya mengungkap asal muasalnya.
Tulisan tersebut sedikit banyak telah mengungkap gambaran bagaimana yang sebenarnya mengenai profesi hakim dari segi kesejahteraannya (gaji dan fasilitas), hal mana kontras dengan yang selama ini menjadi anggapan sebagian besar masyarakat mengenai profesi hakim yang sudah terlanjur dianggap sebagai jabatan yang identik dengan “kemuliaan” (kekayaan materi dan fasilitas).
Berdasarkan realitas kontradiktif profesi hakim antara yang sebenarnya dan yang dianggap benar merujuk pada berita tersebut, menjadi menarik untuk mempertanyakan bagaimana sebenarnya kedudukan hakim dalam sistem ketatanegaraan menurut konstitusi dan peraturan perundang-undangan yang berlaku, dan lebih penting lagi bagaimana Pemerintah dan DPR atas nama negara mengejahwantahkan amanat undang-undang tersebut dalam mendudukkan dan memperlakukan hakim – hakimnya.
Pertanyaan ini relevan dikemukakan terkait dengan tidak jelasnya kedudukan hakim apakah sebagai pejabat negara atau PNS, kalau pejabat negara mengapa tunjangan dan fasilitas tidak menecerminkan layaknya seorang pejabat negara sedangkan jika kedudukannya sebagai PNS mengapa gaji pokok hakim tidak ikut disesuaikan tiap kali ada kenaikan gaji pokok PNS.
Terkait pertanyaan tersebut, mantan Ketua KPK Taufiequrrahman Ruki pernah menyampaikan bahwa reformasi aparatur peradilan bisa dilakukan dengan dua cara pertama, pemuliaan hakim yaitu jadikan hakim sebagai the honourable, yang dimuliakan dengan memberi gaji, upah, tunjangan dan fasilitas terbaik bagi hakim, kedua pemberdayaan peradilan.
Untuk itu perlu kiranya dilihat kembali dalam peraturan perundang-undangan yang berlaku apakah hakim telah didudukkan dan diperlakukan secara proporsional sesuai dengan fungsinya sebagai pelaksana institusi dasar negara dalam urusan peradilan yaitu melayani kepentingan para pencari keadilan (justitiabelen).
Kedudukan Hakim berdasarkan Peraturan Perundangan
Hakim dalam tulisan ini dibatasi pada hakim yang bertugas pada badan peradilan dibawah Mahkamah Agung, oleh karena Hakim Agung dan Hakim Mahkamah Konstitusi berdasarkan kedudukannya sebagai pejabat yang melaksanakan tugas di lembaga tinggi negara dengan sendirinya sudah berstatus sebagai pejabat tinggi negara yang tentunya merupakan pejabat negara dengan gaji dan fasilitas pejabat tinggi negara.
Berdasarkan Pasal 24 ayat 2 amandemen ke-III UUD 1945 eksistensi badan peradilan di bawah Mahkamah Agung yang meliputi empat lingkungan peradilan yaitu peradilan umum, agama, militer dan peradilan tata usaha negara disebutkan secara eksplisit dalam konstitusi sebagai alat perlengkapan negara yaitu sebagai pelaksana kekuasaan kehakiman sehingga dapat dikelompokkan dalam institusi dasar negara bersama dengan Mahkamah Agung dan Mahkamah Konstitusi, berbeda dengan sebelum amandemen yang menyatakan bahwa badan kehakiman lain yang melaksanakan kekuasaan kehakiman diatur menurut undang-undang. Selanjutnya Pasal 25 UUD 1945 menegaskan bahwa syarat – syarat untuk menjadi dan diberhentikan sebagai hakim ditetapkan dengan undang – undang.
Tindak lanjut amanat konstitusi terkait kedudukan hakim tersebut ditetapkan dalam Pasal 19 UU No.48 tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman yang pada pokoknya menegaskan bahwa Hakim dan Hakim Konstitusi adalah pejabat negara yang melakukan kekuasaan kehakiman yang diatur dalam undang-undang. Hakim dalam pasal tersebut adalah hakim pada Mahkamah Agung dan hakim pada badan peradilan yang berada di bawahnya dalam lingkungan peradilan umum, agama, militer dan peradilan tata usaha negara serta hakim pada pengadilan khusus yang berada dalam lingkungan peradilan tersebut. Kemudian Pasal 31 ayat 1 juga menyebutkan bahwa Hakim pengadilan di bawah Mahkamah Agung merupakan pejabat negara yang melaksanakan kekuasaan kehakiman pada badan peradilan dibawah Mahkamah Agung.
Selain UU Kekuasaan Kehakiman, peraturan perundangan lain yang mengatur tentang kedudukan hakim pengadilan di bawah Mahkamah Agung adalah Pasal 11 ayat 1 huruf d UU No. 43 tahun 1999 tentang Pokok-pokok Kepegawaian yang menyebutkan bahwa “Pejabat Negara terdiri atas Ketua, Wakil Ketua, Ketua Muda, Hakim Agung pada Mahkamah Agung serta Ketua, Wakil Ketua dan Hakim pada semua badan peradilan”.
Kemudian Pasal 1 angka 2 huruf f PP No.54 tahun 2010 tentang Pemberian Gaji Bulan Ketigabelas kepada Pegawai Negeri, Pejabat Negara dan Penerima Pensiun/Tunjangan jo. Peraturan Dirjend Perbendaharaan No. PER-22/PB/2010 pada pokoknya juga menyebutkan bahwa Hakim pada Badan Peradilan Umum, Peradilan Tata Usaha Negara, Peradilan Agama, Peradilan Militer dan Hakim yang dipekerjakan untuk tugas peradilan adalah termasuk dalam pengertian Pejabat Negara sebagaimana dimaksud peraturan tersebut.
Hakim pengadilan diangkat dan diberhentikan oleh Presiden sama dengan pejabat negara lainnya yang membedakan adalah tata cara usulan dan pengangkatannya. Terkait dengan tata cara pengangkatan dan pemberhentian hakim berdasarkan ketentuan Pasal 14 ayat 2 UU No.8 tahun 2004 tentang Peradilan Umum dan UU No. 9 tahun 2004 tentang Peradilan Tata Usaha Negara jo. Pasal 13 ayat 2 UU No.3 tahun 2006 tentang Peradilan Agama pada pokoknya menyebutkan bahwa seseorang dapat diangkat sebagai hakim apabila terlebih dahulu berkedudukan sebagai PNS Calon Hakim yang berasal dari CPNS Calon Hakim yang selanjutnya setelah lulus pendidikan hakim atas usul MA diangkat oleh Presiden.
Selanjutnya mengenai pemberhentian hakim ketentuan Pasal 21 UU No.8 tahun 2004 tentang Peradilan Umum dan UU No.9 tahun 2004 tentang Peradilan Tata Usaha Negara jo. Pasal 20 UU No.3 tahun 2006 tentang Peradilan Agama menyebutkan bahwa hakim yang diberhentikan dari jabatannya dengan sendirinya diberhentikan sebagai pegawai negeri, berbeda dengan ketentuan dalam ketiga undang-undang tersebut sebelum diubah yakni hakim yang diberhentikan dari jabatannya tidak serta merta diberhentikan sebagai pegawai negeri. Setelah adanya perubahan atas peraturan perundangan mengenai lingkungan peradilan di bawah MA pada tahun 2009 ketentuan yang menyatakan bahwa hakim yang diberhentikan dari jabatannya dengan sendirinya diberhentikan sebagai pegawai negeri telah dihapus. Oleh karenanya sejak tahun 2009 hakim tidak lagi berkedudukan sebagai PNS, hal ini dapat dilihat dari tidak ikut dinaikkannya gaji pokok hakim setiap ada kenaikan gaji pokok PNS yang mana sebelumnya setiap ada kenaikan gaji pokok PNS gaji hakim ikut disesuaika
Berdasarkan uraian tersebut oleh karena hakim menurut UU No. 48 tahun 2009 disebut sebagai pejabat negara yang melaksanakan kekuasaan kehakiman, maka merujuk ketentuan Pasal 1 angka 4 UU No.43 tahun 1999 yang menyebutkan bahwa Pejabat Negara adalah Pimpinan dan anggota lembaga tertinggi/tinggi negara sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Dasar Negara 1945 dan Pejabat Negara lainnya yang ditentukan oleh undang- undang, maka dapat disimpulkan bahwa secara normatif merujuk pada amandemen konstitusi, uu kekuasaan kehakiman serta peraturan perundangan dibidang kepegawaian kedudukan/status kepegawaian Hakim pengadilan di bawah Mahkamah Agung adalah sebagai Pejabat Negara.
Ironi Hakim Sebagai Pejabat Negara
Meskipun secara normatif status hakim adalah sebagai pejabat negara, namun demikian pola penggajian hakim sebagai pejabat negara masih menggunakan ketentuan hakim sebagai PNS yaitu Keppres No. 89 tahun 2001 tentang Tunjangan Hakim dan Perpres No.15 tahun 2008 tentang Penyesuaian Gaji Pokok Hakim.
Berdasarkan ketentuan tersebut penghasilan seorang hakim dengan pangkat paling rendah tidak sampai tiga juta rupiah, sedangkan untuk pimpinan pengadilan hakim madya pratama masa kerja 26 tahun tidak sampai 6 juta rupiah.
Apabila dibandingkan dengan penyelenggara negara yang lain misal anggota dewan di daerah, penghasilan yang diterima hakim tidak lebih besar dari tunjangan perumahan seorang anggota dewan. Belum lagi mengenai fasilitas dinas, hanya ketua dan wakil ketua pengadilan yang mendapatkan mobil dinas, serta hanya sebagian hakim yang mendapatkan rumah dinas.
Meskipun saat ini sudah ada tunjangan kinerja/remunerasi, namun demikian tunjangan tersebut tidak cukup signifikan untuk menunjang kebutuhan hidup seorang hakim secara layak dalam kedudukannya sebagai pejabat negara, oleh karena tunjangan tersebut selain tidak dibayarkan tiap bulan juga dipakai untuk memenuhi kebutuhan hidup keluarga misal kebutuhan pangan dan sandang bagi sebagian hakim juga harus dipakai untuk membayar kontrak rumah, biaya pendidikan anak, biaya listrik/air/telp, kredit kendaraan/rumah, serta biaya-biaya lain yang harus dipersiapkan ketika harus pindah dari satu daerah ke daerah lain.
Penghasilan hakim yang tidak memadai tersebut dapat digambarkan sebagai berikut, misal harga mobil paling murah dan diminati saat ini Toyota Avanza 130 juta, maka seorang hakim yang baru diangkat bila seluruh gajinya dipakai untuk membeli mobil memerlukan waktu kurang lebih 43 bulan untuk memperoleh mobil tersebut.
Terhadap realitas tersebut, Prof. Hikmahanto Juwana pernah menyampaikan bahwa dalam melakukan reformasi peradilan satu hal yang paling esensial adalah mengembalikan profesi hakim menjadi profesi yang berwibawa dan terhormat yaitu dengan memberikan kompensasi (kesejahteraan) secara layak terhadap profesi hakim. Hakim hanya dapat menerima secara sah kompensasi dari negara, oleh karenanya negara harus memberikan kompensasi dengan baik kalau perlu semua hakim adalah pejabat negara sehingga tidak terbentur dengan aturan – aturan pegawai negeri.
Sosiolog hukum Indonesia alm. Prof. Satjipto Rahardjo dalam salah satu tulisannya pernah menyampaikan bahwa hakim perlu diberikan gaji yang cukup agar tidak terbebani oleh “urusan duniawi” sehingga dapat banyak membaca, menimbang, dan merenungkan dengan seksama persoalan yang dihadapi guna menjatuhkan putusan dan memberikan keadilan yang berkualitas, oleh karena pekerjaan menegakkan hukum dan keadilan itu tidak segampang dan sejelas seperti dikatakan oleh undang-undang tetapi sarat dengan berbagai intervensi baik itu sosial, ekonomi maupun politik. Dengan kata lain pekerjaan mengadili tidak semudah memutar nomor telepon begitu diputar nomornya selesai masalah.
Sebagai penutup tulisan ini, kalau hakim bisa diibaratkan sebagai tanggul atau benteng, maka logika yang bisa diterima akal sehat adalah perkuat dulu konstruksi tanggul atau benteng tersebut dengan bahan-bahan yang berkualitas baru bisa diharapkan sejauhmana tanggul atau benteng tersebut dapat menahan derasnya gelombang air (godaan) yang menerjang. Oleh karena itu sependapat dengan Prof. Hikmahanto kritik pedas terhadap para hakim tidak seharusnya dilakukan sebelum kesejahteraan para hakim terpenuhi oleh negara dan selama kesejahteraan hakim belum terpenuhi bisa jadi reformasi hukum (peradilan) merupakan kegiatan non-sense belaka.
* oleh: Joko A. Sugianto, telah dimuat di media online Tribunnews.com/Tribunner/Umum tgl 13 Januari 2011
* oleh: Joko A. Sugianto, telah dimuat di media online Tribunnews.com/Tribunner/Umum tgl 13 Januari 2011
No comments:
Post a Comment