KEPUTUSAN TATA USAHA NEGARA
SEBAGAI OBJEK GUGATAN
SEBAGAI OBJEK GUGATAN
(MAKALAH DISAMPAIKAN DALAM RANGKA BIMTEK TENTANG IMPLEMENTASI PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN TENTANG PERADILAN TATA USAHA NEGARA YANG DISELENGGARAKAN OLEH PEMKAB OGAN ILIR, MEI 2010 DAN PEMKAB MUARA ENIM, NOPEMBER 2010)
Oleh : JOKO AGUS SUGIANTO, SH
I. Pendahuluan
Keputusan Pejabat yang berwenang dalam menyelenggarakan urusan pemerintahan sering dikenal dengan istilah SK (Surat Keputusan) atau ketetapan (beschikking) atau keputusan (besluit), menurut ketentuan Pasal 1 angka 9 Undang - undang No.51 tahun 2009 tentang perubahan atas UU No.5 tahun 1986 dan UU No 9 tahun 2004 tentang Peradilan Tata Usaha Negara disebut juga dengan Keputusan Tata Usaha Negara (KTUN).
Dalam praktek penyelenggaraan urusan pemerintahan baik di pusat maupun di daerah, KTUN mempunyai kedudukan yang cukup penting oleh karena melalui keputusan tersebut pemerintah dapat menyampaikan kebijakan - kebijakannya kepada warga masyarakat baik itu orang perseorangan, badan hukum perdata maupun kelompok masyarakat dalam rangka pelaksanakan tugas dan kewajibannya mengemban amanat konstitusi mewujudkan kehidupan bermasyarakat dan bernegara yang sejahtera, aman dan tertib.
Dalam praktek penyelenggaraan urusan pemerintahan baik di pusat maupun di daerah, KTUN mempunyai kedudukan yang cukup penting oleh karena melalui keputusan tersebut pemerintah dapat menyampaikan kebijakan - kebijakannya kepada warga masyarakat baik itu orang perseorangan, badan hukum perdata maupun kelompok masyarakat dalam rangka pelaksanakan tugas dan kewajibannya mengemban amanat konstitusi mewujudkan kehidupan bermasyarakat dan bernegara yang sejahtera, aman dan tertib.
Pemerintah dalam rangka melaksanakan tugas dan kewajibannya tersebut adakalanya menghadapi benturan kepentingan dengan warga masyarakat yang dapat disebabkan oleh beberapa hal diantaranya adalah oleh karena adanya perbedaan kepentingan, penafsiran atas penerapan peraturan perundang-undangan, dan atau kesalahan dalam menerapkan peraturan perundang-undangan itu sendiri yang berakibat timbulnya sengketa antara warga masyarakat dengan pemerintah.
Jika kemudian terjadi sengketa antara warga masyarakat dengan pemerintah akibat terbitnya Keputusan Tata Usaha Negara, maka lembaga yang berwenang dari segi hukum untuk menyelesaikan sengketa tersebut adalah Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) sebagaimana maksud ketentuan Pasal 4 Undang - undang No. 9 tahun 2004 tentang Perubahan UU No. 5 tahun 1986 yang berbunyi : "Peradilan Tata Usaha Negara adalah salah satu pelaku kekuasaan kehakiman bagi rakyat pencari keadilan terhadap sengketa Tata Usaha Negara" dan Pasal 47 Undang - undang No.5 tahun 1986 tentang Peradilan Tata Usaha Negara yang berbunyi : "Pengadilan bertugas dan berwenang memeriksa, memutus dan menyelesaikan sengketa Tata Usaha Negara"
Jika kemudian terjadi sengketa antara warga masyarakat dengan pemerintah akibat terbitnya Keputusan Tata Usaha Negara, maka lembaga yang berwenang dari segi hukum untuk menyelesaikan sengketa tersebut adalah Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) sebagaimana maksud ketentuan Pasal 4 Undang - undang No. 9 tahun 2004 tentang Perubahan UU No. 5 tahun 1986 yang berbunyi : "Peradilan Tata Usaha Negara adalah salah satu pelaku kekuasaan kehakiman bagi rakyat pencari keadilan terhadap sengketa Tata Usaha Negara" dan Pasal 47 Undang - undang No.5 tahun 1986 tentang Peradilan Tata Usaha Negara yang berbunyi : "Pengadilan bertugas dan berwenang memeriksa, memutus dan menyelesaikan sengketa Tata Usaha Negara"
Sehubungan dengan kewenangan PTUN dalam menyelesaikan sengketa tata usaha negara sebagaimana disebutkan dalam Pasal 4 dan Pasal 47 UU tentang Peradilan Tata Usaha Negara (Peratun), maka pokok permasalahan yang akan dibahas dan dibatasi pembahasannya dalam makalah ini adalah "Apakah semua Keputusan Tata Usaha Negara yang diterbitkan oleh Badan / Pejabat Tata Usaha Negara (Pemerintah) dapat dijadikan objek gugatan / digugat di Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) ?".
Hal yang cukup mendasar untuk diperhatikan kaitannya dengan permasalahan tersebut adalah bahwa Keputusan Tata Usaha Negara menurut ketentuan Pasal 1 angka 9 UU. No. 51 tahun 2009 merupakan sebuah norma yang terdiri atas rangkaian konsep, yang mana dalam praktek penyelenggaraan urusan pemerintahan oleh pejabat yang berwenang dibuat dalam bentuk keputusan - keputusan yang berbeda satu sama lainnya misalnya keputusan dibidang kepegawaian, catatan sipil, pertanahan, keputusan dibidang perijinan, dan lain-lain.
Oleh karena itu untuk dapat memahami dan mengetahui apa saja KTUN yang dapat dijadikan objek gugatan di PTUN, maka perlu kiranya mendalami apa yang di maksud dengan KTUN secara teoritis, normatif maupun praktek peradilan agar dapat diketahui apakah sebuah keputusan yang diterbitkan oleh Pejabat tersebut dapat atau tidak digugat di Pengadilan Tata Usaha Negara untuk diuji keabsahannya dari segi hukum.
Oleh karena itu untuk dapat memahami dan mengetahui apa saja KTUN yang dapat dijadikan objek gugatan di PTUN, maka perlu kiranya mendalami apa yang di maksud dengan KTUN secara teoritis, normatif maupun praktek peradilan agar dapat diketahui apakah sebuah keputusan yang diterbitkan oleh Pejabat tersebut dapat atau tidak digugat di Pengadilan Tata Usaha Negara untuk diuji keabsahannya dari segi hukum.
II. Keputusan Tata Usaha Negara menurut doktrin atau pendapat Sarjana Hukum Administrasi Negara;
Keputusan tata usaha negara merupakan sebuah konsep yang berasal dari istilah ketetapan (beschikking) dalam literatur bahasa Belanda, yang mana oleh E. Utrecht kemudian dijabarkan sebagai “suatu perbuatan hukum publik bersegi satu yang dilakukan oleh alat - alat pemerintah berdasarkan suatu kekuasaan istimewa”, pendapat yang sama dinyatakan oleh W.F Prins. Sedangkan Van der Plot berpendapat bahwa “ketetapan merupakan alat-alat pemerintahan dan pernyataan alat pemerintahan dalam menyelenggarakan hal istimewa dengan maksud mengadakan perubahan dalam hubungan hukum”. Berdasarkan pendapat - pendapat tersebut S.F Marbun lebih cenderung menggunakan istilah keputusan daripada ketetapan dengan membuat kesimpulan sebagai berikut, bahwa yang dimaksud dengan keputusan (beschikking) adalah “suatu perbuatan hukum publik bersegi satu, yang dilakukan oleh alat pemerintah (dalam arti sempit) berdasarkan suatu kekuasaan atau wewenang istimewa dengan maksud terjadinya perubahan hubungan hukum”.[1]
Dari beberapa pendapat Sarjana Hukum Administrasi Negara tersebut, maka dapat diuraikan unsur – unsur apa yang terdapat dalam konsep / pengertian keputusan (beschikking)[2], yaitu sebagai berikut :
1. Perbuatan hukum publik bersegi satu;
Perbuatan hukum publik bersegi satu adalah perbuatan pemerintah berdasarkan ketentuan hukum publik yang dilakukan secara sepihak tanpa adanya persetujuan pihak lain. Dalam konsep keputusan (beschikking) tidak ada yang namanya persetujuan kedua belah pihak sebagaimana dikenal dalam konsep perjanjian menurut hokum perdata, oleh karena itu pemerintah melalui aparatnya (pejabat tata usaha negara) mempunyai kewenangan penuh menentukan kebijakannya dalam pembuatan suatu keputusan.
2. Alat pemerintah (dalam arti sempit);
Menurut hemat Penulis mengacu pada pendapat para sarjana tersebut alat pemerintah dalam arti sempit juga merupakan salah satu unsur keputusan, yaitu apa dan siapa saja yang melaksanakan fungsi urusan pemerintah diluar urusan legislatif dan yudikatif meskipun secara structural maupun organisatoris tidak termasuk jajaran eksekutif. Pandangan demikian sejalan dengan dengan pendapat Prof.Mr Nicolai dalam uraiannya tentang pengertian organ pemerintah, sehingga meliputi juga instansi-instansi lain yang sebetulnya secara kelembagaan tidak tidak masuk kategori organ pemerintah tetapi melaksanakan fungsi pemerintah.[3]
3. Berdasarkan Kekuasaan atau Wewenang Istimewa.
Pemerintah melalui alat-alatnya yaitu badan atau pejabat tata usaha negara dalam melakukan perbuatan/tindakan harus selalu berdasarkan hukum sesuai asas legalitas. Hukum harus menjadi sumber kekuasaan atau wewenang bagi setiap tindakan pemerintah, wewenang mana dapat diperoleh baik melalui atribusi, delegasi ataupun mandat. Dengan kata lain pemerintah tanpa adanya dasar hukum berupa peraturan perundang-undangan yang berlaku, tidak mempunyai kewenangan melakukan tindakan yang mengikat pihak lain.
4. Terjadinya Perubahan dalam Lapangan Hukum.
Perbuatan / tindakan pemerintah yang dilakukan berdasarkan kewenangan yang bersumber dari peraturan perundang-undangan yang berlaku merupakan perbuatan hukum, oleh karena itu dapat menimbulkan akibat hukum berupa terjadinya perubahan hubungan hukum antara pemerintah dengan pihak yang mendapatkan keputusan tersebut.
Merujuk pada unsur-unsur yang terdapat dalam pengertian keputusan tersebut, dengan menggunakan beberapa ukuran suatu keputusan dapat dikelompokkan menurut jenis dan sifatnya[4], yaitu sebagai berikut:
1. Keputusan konstitutif dan Keputusan deklaratoir ;
Contoh : Surat Keputusan Pemberian Hak atas tanah negara versus SHM atas tanah konversi.
2. Keputusan positif dan Keputusan negatif;
Contoh : SK pengangkatan PNS versus penundaan kenaikan pangkat dll.
3. Keputusan kilat (vluctige beschikking) dan keputusan tetap (blijvend);
Contoh : Ijin untuk mengadakan keramaian atau rapat umum versus IMB.
4. Keputusan terikat (gebonden beschikking) dan keputusan bebas (vrij beschikking);
Contoh : Surat Ijin Mengemudi (SIM) versus Ijin Cuti.
III. Keputusan Tata Usaha Negara menurut Undang – undang No. 51 tahun 2009 tentang Perubahan UU. No. 9 tahun 2004 dan UU. No. 5 tahun 1986 tentang Peradilan Tata Usaha Negara;
Keputusan Tata Usaha Negara sebagai objek gugatan di PTUN dalam Undang-undang tentang Peradilan Tata Usaha Negara diatur dalam Pasal 1 angka 9 UUNo.51 tahun 2009, Pasal 3 UU No. 5 tahun 1986, dengan beberapa pembatasan yaitu sebagaimana diatur dalam Pasal 2 UU. No.9 tahun 2004 dan Pasal 49 UU. No.5 tahun 1986.
Pengertian Keputusan Tata Usaha Negara menurut ketentuan Pasal 1 angka 9 adalah “suatu penetapan tertulis yang dikeluarkan oleh badan atau pejabat tata usaha negara yang berisi tindakan hukum tata usaha negara yang berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku, yang bersifat konkret, individual, dan final, yang menimbulkan akibat hukum bagi seseorang atau badan hukum perdata”.
Secara normatif keputusan tata usaha negara (KTUN) menurut ketentuan pasal 1 angka 9 tersebut terdiri atas rangkaian konsep tentang :
1. Penetapan tertulis.
2. Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara.
3. Tindakan Hukum Tata Usaha Negara.
4. Peraturan perundang – undangan yang berlaku.
5. Bersifat konkret, individual dan final.
6. Akibat hukum bagi seseorang atau badan hukum perdata.
ad. 1) Penetapan Tertulis.
Konsep tentang penetapan tertulis ini terdiri atas kata “penetapan” dan “tertulis”, penetapan dalam konsep ini menunjuk pada adanya “hubungan hukum” yang ditetapkan dalam keputusan yang bersangkutan yang dapat berupa kewajiban untuk berbuat atau tidak berbuat sesuatu, pemberian suatu status dan lain-lain, sedangkan kata “tertulis” dimaksudkan bahwa keputusan tersebut dibuat dalam bentuk tulisan dan bukan lisan yang dapat memberikan gambaran tentang siapa yang membuat tulisan, maksud/mengenai apa dan kepada siapa tulisan ditujukan. Dengan demikian syarat harus dalam bentuk tertulis itu bukan mengenai bentuk formalnya melainkan untuk kemudahan dari segi pembuktian.
ad. 2) Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara.
Berdasarkan ketentuan Pasal 1 angka 8 UU NO.51 tahun 2009 yang dimaksud dengan Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara adalah Badan atau Jabatan Tata Usaha Negara yang melaksanakan urusan pemerintahan berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Konsep urusan pemerintahan menurut penjelasan undang – undang ini adalah setiap kegiatan yang bersifat eksekutif, dengan demikian siapa saja yang melaksanakan urusan pemerintahan diluar urusan legislatif dan yudikatif dapat dianggap berkedudukan sebagai Badan atau Pejabat TUN meskikpun secara struktural/organisatoris ia bukan termasuk dalam jajaran pemerintahan.
ad. 3) Tindakan Hukum Tata Usaha Negara.
Unsur ke-tiga ini terdiri atas konsep “tindakan dan “Hukum Tata Usaha Negara”, yang kurang lebih dapat dijabarkan sebagai berikut, bahwa yang dimaksud tindakan hukum TUN adalah setiap perbuatan atau tindakan berdasarkan peraturan perundang-undangan dibidang urusan pemerintahan.
ad. 4) Peraturan perundang – undangan yang berlaku.
Unsur ke-empat ini merupakan prasyarat bahwa setiap wewenang pemerintahan untuk melakukan tindakan hukum TUN baik mengenai bentuk dari tindakan hukum serta isi hubungan hukum yang diciptakan harus ada dasarnya dalam peraturan perundang-undangan yang berlaku. Unsur ini merupakan penerapan dari asas legalitas yang dimaksudkan agar setiap perbuatan atau tindakan badan atau jabatan TUN dalam rangka penyelenggaraan urusan pemerintahan kususnya dalam mengeluarkan penetapan tertulis selalu tunduk dan diawasi oleh hukum.
ad. 5) Bersifat konkret, individual dan final.
- Konkret yaitu bahwa apa yang diputuskan dalam penetapan tertulis tersebut tidak abstrak melainkan telah jelas maksud dan tujuan mengenai hal tertentu.
- Individual menunjuk kepada orang atau badan hukum perdata secara khusus tidak secara umum artinya harus jelas alamat yang dituju kepada siapa penetapan tertulis tersebut ditujukan.
- Final artinya penetapan tertulis tersebut bersifat definitif dan tidak lagi memerlukan persetujuan dari instansi atasan atau instansi lainnya.
ad. 6) Akibat hukum bagi seseorang atau badan hukum perdata.
Bahwa yang dimaksud dengan konsep akibat hukum dalam pengertian KTUN menurut pasal ini adalah bahwa setiap penetapan tertulis yang dikeluarkan oleh badan atau jabatan tata usaha negara dimaksudkan untuk menciptakan adanya perubahan hubungan hukum bagi si penerima keputusan baik itu yang bersifat positif atau negatif.
Ke-enam unsur KTUN yang terdapat dalam Pasal 1 angka 9 tersebut bersifat kumulatif, artinya bahwa agar suatu keputusan yang dikeluarkan oleh badan atau pejabat tata usaha negara tersebut dapat dikategorikan sebagai KTUN, maka harus memenuhi kesemua unsur tersebut.
KTUN selain seperti apa yang dimaksud ketentuan Pasal 1 angka 9 UU NO.51 tahun 2009, dikenal pula tindakan atau perbuatan diam dari badan atau pejabat TUN yang disamakan dengan KTUN yaitu sebagaimana disebutkan dalam Pasal 3 UU No.5 tahun 1986 :
(1) Apabila Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara tidak mengeluarkan keputusan,
sedangkan hal itu menjadi kewajibannya, maka hal tersebut disamakan dengan
Keputusan Tata Usaha Negara.
(2) Jika suatu Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara tidak mengeluarkan keputusan yang dimohon, sedangkan jangka waktu sebagaimana ditentukan data peraturan perundang-undangan dimaksud telah lewat, maka Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara tersebut dianggap telah menolak mengeluarkankeputusan yang dimaksud.
(3) Dalam hal peraturan perundang-undangan yang bersangkutan tidak menentukan
jangka waktu sebagaimana dimaksud dalam ayat (2), maka setelah lewat jangka waktu empat bulan sejak diterimnya permohonan, Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara yang bersangkutan dianggap telah mengeluarkan keputusan penolakan.
Undang – undang tentang Peradilan Tata Usaha Negara memberikan batasan atas apa yang dimaksud dengan KTUN, yaitu meskipun keputusan tersebut dikeluarkan oleh badan atau jabatan tata usaha negara tetapi tidak dapat dijadikan objek gugatan di PTUN sebagaimana yang diatur dalam Pasal 2 UU No.9 tahun 2004 dan Pasal 49 UU. No.5 tahun 1986.
Ketentuan Pasal 2 menyebutkan bahwa tidak termasuk KTUN menurut UU ini:
a. Keputusan Tata Usaha Negara yang merupakan perbuatan hukum perdata;
b. Keputusan Tata Usaha Negara yang merupakan pengaturan yangbersifat umum;
c. Keputusan Tata Usaha Negara yang masih memerlukan persetujuan;
d. Keputusan Tata Usaha Negara yang dikeluarkan berdasarkan ketentuan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana dan Kitab Undang-UndangHukum Acara Pidana atau peraturan perundang-undangan lain yang bersifat hukum pidana;
e. Keputusan Tata Usaha Negara yang dikeluarkan atas dasar hasil pemeriksaan badan peradilan berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku;
f. Keputusan Tata Usaha Negara mengenai tata usaha Tentara Nasional Indonesia;
g. Keputusan Komisi Pemilihan Umum baik di pusat maupun di daerah mengenai hasil pemilihan umum.
Sedangkan ketentuan Pasal 49 UU NO.5 tahun 1986 menyebutkan bahwa :
Pengadilan tidak berwenang memeriksa, memutus, dan menyelesaikan sengketa Tata Usaha Negara tertentu dalam hal keputusan yang disengketakan itu dikeluarkan :
a. dalam waktu perang, keadaan bahaya, keadaan bencana alam, atau keadaan luar biasa yang membahayakan, berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku;
b. dalam keadaan mendesak untuk kepentingan umum berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Selain pembatasan oleh UU tentang Peradilan TUN, dalam perkembangannya seiring dengan perubahan politik hukum terdapat pula pembatasan oleh lahirnya Undang – undang yang baru, misalnya UU NO.2 tahun 2004 tentang Peradilan Hubungan Industrial yang mana sebelum UU ini diundangkan keputusan tentang perburuhan menjadi kewenangan PTUN, kemudian UU NO.14 tahun 2004 tentang Peradilan Pajak dengan adanya Peradilan Pajak maka keputusan dibidang perpajakan tidak lagi menjadi kewenangan PTUN, dan lain-lain.
IV. Perkembangan KTUN sebagai Objek Gugatan dalam Praktek Peradilan;
Dalam praktek peradilan melalui Yurisprudensi yaitu putusan pengadilan yang telah berkekuatan hukum tetap kemudian dikuti oleh Hakim lain dalam penyelesaian perkara atas objek gugatan yang sama, terdapat beberapa KTUN yang tidak dapat dijadikan objek gugatan di PTUN meskipun keputusan tersebut dikeluarkan oleh badan atau jabatan TUN, misalnya:
- Risalah lelang (Putusan No. 150 K/TUN/1994 tanggal 7 September 1995, jo No.47 K/TUN/1997 tanggal 26 Januari 1998 jo No.245 K/TUN/1999 tanggal 30 Agustus 2001).
- SHM yang terkait dengan pembuktian masalah kepemilikan (Putusan No.22 K/TUN/1998 tanggal 27 Juli 2001 jo 16 K/TUN/2000 tanggal 28-02-2001).
- Akta PPAT (Putusan 302 K /TUN/ 1999 jo. NO.62 K/TUN/1998 tanggal 27 Juli 2001).
- Keputusan Rektor Perguruan Tinggi swasta (Putusan No. 48/PK/TUN/2002 tanggal 11 Juni 2004).
- Keputusan hasil pilkades (Putusan No. 482 K/TUN/2003 tanggal 18-8-2004).
Demikian sekilas paparan tentang Keputusan Tata Usaha Negara sebagai objek gugatan di Pengadilan Tata Usaha Negara, dimana dari uraian tersebut dapat disimpulkan bahwa KTUN sebagai salah satu instrumen juridis pemerintah dalam melaksanakan tugas dan kewajibannya bersifat dinamis seiring dengan perkembangan politik hukum yang terjadi dalam perjalanan berbangsa dan bernegara.
DAFTAR BACAAN
- S.F MARBUN, Peradilan Administrasi dan Upaya Administratif di Indonesia, Jogjakarta, UII PRESS,2003.
- INDROHARTO, Usaha Memahami Undang - undang Tentang Peradilan Tata Usaha Negara Buku I, Jakarta, Pustaka Sinar Harapan, 2004.
- PAULUS EFFENDI LOTULUNG, Perkembangan Praktek Peradilan mengenai KTUN sebagai Objek Gugatan, Makalah, Bandung, 2003.
[1] S.F MARBUN, Peradilan Administrasi dan Upaya Administratif di Indonesia, Jogjakarta, UII PRESS,2003 hal.100.
[2] Ibid., hal. 100-102.
[3] Paulus Efendi Lotulung, Perkembangan Praktek Peradilan mengenai KTUN sebagai Objek Gugatan, Makalah, Bandung, 2003
[4] INDROHARTO, Usaha Memahami Undang – undang Tentang Peradilan Tata Usaha Negara Buku I, Jakarta, Pustaka Sinar Harapan, 2004, hal. 181.
No comments:
Post a Comment