PENGADILAN PAJAK DALAM SISTEM PERADILAN
DI INDONESIA*
JOKO A. SUGIANTO,SH
I. PENDAHULUAN
1. Latar Belakang Masalah
Amandemen ke – tiga UUD 1945 Pasal 24 ayat (2) menegaskan bahwa kekuasaan kehakiman di Indonesia dilakukan oleh sebuah Mahkamah Agung dan badan peradilan dibawahnya dalam lingkungan peradilan umum, lingkungan peradilan agama, lingkungan peradilan militer, lingkungan peradilan tata usaha negara dan oleh sebuah Mahkamah Konstitusi.[1]
Merujuk pada ketentuan tersebut lembaga-lembaga mana yang berwenang melakukan kekuasaan kehakiman telah disebutkan secara terbatas (limitatif). Dengan kata lain tidak ada yang namanya lembaga peradilan selain apa yang telah disebutkan secara tegas (expressive verbis) dalam konstitusi. Meskipun ada pengadilan selain sebagaimana yang ditentukan oleh konstitusi maka pengadilan tersebut haruslah berada dalam salah satu lingkungan peradilan di bawah Mahkamah Agung yaitu, misalnya lingkungan peradilan umum, peradilan agama, peradilan militer atau peradilan tata usaha negara.[2]
Terbongkarnya penyelewengan oleh pegawai pajak terkait keberatan dan banding dari wajib pajak, misalnya yang dilakukan oleh Gayus H. Tambunan sebagai Penelaah Keberatan pada Seksi Bidang Keberatan dan Banding di Kantor Wilayah Direktorat Pajak[3], potensi kerugian negara akibat seringnya sengketa pajak dimenangkan oleh wajib pajak di mana dari 16.953 berkas gugatan yang secara formal diterima periode 2002 -2009 sebanyak 13.672 berkas gugatan (kurang lebih 81 persen) dikabulkan oleh pengadilan pajak dan lemahnya sistem pengawasan pengadilan pajak[4], telah menyadarkan berbagai pihak mengenai pentingnya dilakukan reformasi pengadilan pajak.
Pengadilan Pajak sebagaimana diatur dalam ketentuan Undang – Undang No. 14 Tahun 2002 tentang Pengadilan Pajak awalnya dibentuk berdasarkan beberapa pertimbangan sebagaimana tercantum dalam konsideran faktual undang – undang a-quo, yang antara lain menyebutkan bahwa Badan Penyelesaian Sengketa Pajak belum merupakan badan peradilan yang berpuncak di Mahkamah Agung oleh karenanya diperlukan suatu Pengadilan Pajak yang sesuai dengan sistem Kekuasaan Kehakiman di Indonesia.[5]
Ketua Mahkamah Agung Harifin A. Tumpa sebagaimana dikutip oleh media online www.politikindonesia.com menyatakan bahwa pengawasan yang dilakukan Mahkamah Agung tidak bisa dilakukan pada pengadilan pajak mengingat dalam Undang – Undang Dasar 1945 sudah menyebutkan hanya ada empat jenis peradilan, yaitu peradilan umum, tata usaha negara, militer dan agama. Pengadilan pajak memang secara teknis di Mahkamah Agung, tapi administrasinya ada di kementerian keuangan. Oleh karenanya menurut Harifin A. Tumpa agar Mahkamah Agung dapat mengawasi pengadilan pajak baik itu teknis maupun administratif, maka pengadilan pajak harus masuk ke dalam lingkungan dari empat jenis peradilan di bawah Mahkamah Agung untuk itu perlu dilakukan perubahan regulasi pengadilan pajak. Selain Ketua Mahkamah Agung, Ketua Mahkamah Konstitusi Moh Mahfud MD juga berpendapat sama yang pada prinsipnya menyatakan bahwa perlu dilakukan pengkajian mendalam agar bisa tercipta suatu sistem atau mekanisme yang efektif dalam mengawasi pengadilan pajak, oleh karena lemahnya pengawasan akan menjadikan pengadilan pajak berpotensi diisi oleh sejumlah orang yang terlibat praktik mafia hukum.[6]
Berdasarkan uraian tersebut relevan kiranya untuk menganalisa bagaimana sebenarnya kedudukan Pengadilan Pajak dalam sistem peradilan di Indonesia, sehingga dapat diketahui keberadaan atau eksistensi pengadilan pajak apakah benar pengadilan pajak merupakan pengadilan khusus di lingkungan peradilan tata usaha negara sebagaimana amanat konstitusi dan peraturan perundangan yang berlaku.
2. Pokok Permasalahan
Pokok permasalahan dalam tulisan ini dibatasi pada pertanyaan sebagai berikut :
- Bagaimanakah kedudukan Pengadilan Pajak dalam sistem peradilan di Indonesia, apakah telah sejalan dengan amanat konstitusi dan peraturan perundang-undangan dibidang kekuasaan kehakiman ?
3. Metode Penulisan
Metode penulisan yang digunakan dalam tulisan ini adalah dengan menggunakan pendekatan analisis konten (content analysis), yaitu teknik penulisan dengan memanfaatkan data sekunder atau bahan dokumen siap pakai (preexisting data) untuk menggambarkan dan menganalisis pokok permasalahan.[7]
II. SISTEM PERADILAN DI INDONESIA
Peradilan sebagai sebuah sistem merupakan salah satu pilar penyangga kehidupan bernegara yang keberadaannya ikut menentukan tegak tidaknya martabat bangsa dan negara. Hal ini bisa dilihat pada realita yang terjadi di negara Indonesia di mana korupsi di lembaga peradilan pernah menempati urutan tertinggi yaitu 32,8 % yang berbanding lurus dengan indeks persepsi korupsi internasional yang menempatkan Indonesia dalam urutan ke-122 dari 133 negara.[8]
Berdasarkan kenyataan tersebut, maka penting untuk mengetahui bagaimana sebenarnya sistem peradilan di Indonesia, apakah ada yang salah dengan sistem peradilan tersebut. Transparansi Internasional mengidentifikasi beberapa faktor yang cukup signifikan mempengaruhi persepsi permasalahan korupsi salah satunya ,yaitu perubahan kelembagaan dan ketentuan hukum.[9]
Terkait hal tersebut untuk mengetahui bagaimana sistem peradilan di Indonesia, maka terlebih dahulu perlu dipahami apa yang dimaksud dengan sistem peradilan.
Pengertian sistem menurut H.Thierry adalah “een geheel van elkaar wederzijds beinvloedende componenten, die volgens een plan geordend zijn, teneinde een bepaald doel te bereiken” yang apabila diterjemahkan secara bebas, yaitu keseluruhan bagian yang saling mempengaruhi satu sama lainnya menurut suatu rencana yang ditentukan, untuk mencapai suatu tujuan tertentu,[10] sedangkan yang dimaksud peradilan adalah segala sesuatu mengenai perkara pengadilan.[11] Dengan demikian sistem peradilan kurang lebih dapat diartikan sebagai keseluruhan dari bagian-bagian yang saling mempengaruhi satu sama lain dalam proses penyelesaian perkara di pengadilan.
Bagir Manan memberikan definisi sistem peradilan dari dua segi, yaitu: Pertama, segala sesuatu berkenaan dengan penyelenggaraan peradilan yang mencakup kelembagaan, sumber daya, tata cara, prasarana dan sarana. Kedua, proses mengadili (memeriksa dan memutus perkara). Kelembagaan peradilan dapat dibedakan antara susunan horizontal dan susunan vertikal. Susunan horizontal menyangkut berbagai lingkungan badan peradilan, sedangkan susunan vertikal terkait dengan tingkat penyelesaian perkara dari tingkat pertama, banding dan kasasi.[12]
Sistem Peradilan di Indonesia didasarkan pada ketentuan Pasal 24 ayat (1) dan ayat (2) Undang – Undang Dasar Negara Republik Indonesia tahun 1945 yang menyebutkan sebagai berikut :
Ayat (1) : “Kekuasaan Kehakiman merupakan kekuasaan yang merdeka untuk menyelenggarakan peradilan guna menegakkan hukum dan keadilan”.
(2) : “Kekuasaan kehakiman dilakukan oleh sebuah Mahkamah Agung dan badan peradilan yang berada di bawahnya dalam lingkungan peradilan umum, lingkungan peradilan agama, lingkungan peradilan militer, lingkungan peradilan tata usaha negara, dan oleh sebuah Mahkamah Konstitusi”.
Pengaturan lebih lanjut atas penyelenggaraan kekuasaan kehakiman di Indonesia diatur dalam Undang – Undang No. 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman. Undang – undang ini menggantikan undang – undang kekuasaan kehakiman sebelumnya yaitu Undang – Undang No.4 Tahun 2004 yang tidak sesuai lagi dengan perkembangan kebutuhan hukum dan ketatanegaraan menurut UUD Negara RI Tahun 1945 sehingga perlu ada penataan kembali sistem peradilan secara terpadu agar peradilan independen dalam rangka mewujudkan peradilan yang bersih dan berwibawa.
Berdasarkan asas penyelenggaraan kekuasaan kehakiman peradilan dilakukan bertumpu pada irah – irah “Demi Keadilan Berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa”.[13] Ini menunjukkan bahwa hakim dalam melaksanakan fungsinya bertindak sebagai penegak keadilan dan bukannya penegak hukum (undang - undang), oleh karena hukum tidak identik dengan keadilan.[14] Hukum bagi hakim dalam proses penyelesaian perkara adalah merupakan salah satu sumber menemukan nilai keadilan oleh karenanya ketika undang – undang tidak mencerminkan nilai keadilan atau bertentangan dengan konstitusi, hakim wajib menggali nilai – nilai hukum dan rasa keadilan yang hidup di masyarakat. Namun demikian bukan berarti hakim dalam memeriksa dan mengadili perkara bebas menyampingkan ketentuan hukum positif oleh karena kepastian hukum sebagaimana tertuang dalam peraturan perundangan juga merupakan salah satu sumber nilai – nilai keadilan dalam rangka mewujudkan kehidupan bernegara yang tertib dan adil berdasarkan Pancasila.
Asas penyelenggaraan kekuasaan kehakiman secara kelembagaan juga menghendaki bahwa kekuasaan kehakiman yang diselenggarakan oleh badan peradilan melalui hakim dilakukan dengan menjaga kemandirian peradilan, oleh karena itu segala campur tangan dalam urusan peradilan oleh pihak lain di luar kekuasaan kehakiman dilarang, kecuali dalam hal-hal sebagaimana dimaksud dalam UUD Negara RI Tahun 1945. Setiap orang yang dengan sengaja ikut campur dalam urusan peradilan dipidana sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan.[15]
Mahkamah Agung dan badan peradilan dibawahnya selaku penyelenggara kekuasaan kehakiman menurut Undang – Undang No.48 tahun 2009 diatur dalam BAB III tentang Pelaku Kekuasaan Kehakiman Bagian Kedua Pasal 20 sampai dengan Pasal 28.
Mahkamah Agung secara struktural kelembagaan merupakan pengadilan negara tertinggi dari empat lingkungan badan peradilan yang berada dibawahnya, yaitu lingkungan peradilan umum, agama, militer dan peradilan tata usaha negara. Sebagai pengadilan negara tertinggi Mahkmah Agung mempunyai kewenangan mengadili pada tingkat kasasi terhadap putusan yang diberikan pada tingkat terakhir oleh pengadilan di semua lingkungan peradilan yang berada di bawah Mahkamah Agung, kecuali undang – undang menentukan lain. Selain kewenangan mengadili pada tingkat kasasi, Mahkamah Agung juga berwenang menguji peraturan perundang – undangan di bawah undang – undang terhadap undang – undang dan kewenangan lainnya yang diberikan undang – undang.[16]
Konsekuensi Mahkamah Agung sebagai pengadilan negara tertinggi merujuk pada ketentuan Pasal 21 UU No.48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman, maka urusan organisasi, administrasi dan finansial badan peradilan di bawah Mahkamah Agung yang meliputi peradilan umum, agama, militer dan peradilan tata usaha negara berada di bawah kekuasaan Mahkamah Agung.
Selanjutnya mengenai kewenangan empat lingkungan badan peradilan di bawah Mahkamah Agung, masing – masing mempunyai kewenangan sesuai peraturan perundang - undangan sebagai berikut, yaitu:[17]
- Peradilan umum berwenang memeriksa, mengadili, dan memutus perkara pidana dan perdata;
- Peradilan agama berwenang memeriksa, mengadili, memutus dan menyelesaikan perkara antara orang – orang yang beragama Islam;
- Peradilan militer berwenang memeriksa, mengadili dan memutus perkara tindak pidana militer;
- Peradilan tata usaha negara berwenang memeriksa, mengadili, memutus dan menyelesaikan sengketa tata usaha negara;
Putusan pengadilan dari masing – masing badan peradilan tersebut dapat diajukan upaya hukum secara berjenjang sesuai dengan tingkat peradilan. Untuk putusan peradilan tingkat pertama dapat dimintakan banding kepada pengadilan tinggi oleh pihak berperkara, dan terhadap putusan dalam pengadilan tingkat banding juga masih dapat diajukan kasasi kepada Mahkamah Agung kecuali undang – undang menentukan lain.[18]
Kemudian terkait dengan pengadilan khusus, ketentuan Pasal 27 ayat (1) UU No.48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman menegaskan bahwa pengadilan khusus hanya dapat dibentuk dalam salah satu lingkungan peradilan yang berada di bawah Mahkamah Agung. Penjelasan ketentuan pasal ini menyebutkan bahwa yang dimaksud pengadilan khusus antara lain adalah pengadilan anak, pengadilan niaga, pengadilan hak asasi manusia, pengadilan tindak pidana korupsi, pengadilan hubungan industrial, dan pengadilan perikanan yang berada di lingkungan peradilan umum, serta pengadilan pajak yang berada di lingkungan peradilan tata usaha negara.
Pengadilan Pajak sesuai dengan penjelasan ketentuan Pasal 27 ayat (1) UU No.48 tahun 2009 disebutkan sebagai salah satu pengadilan khusus yang berada di lingkungan peradilan tata usaha negara. Oleh karena Pengadilan Pajak menurut penjelasan ketentuan ini merupakan pengadilan khusus yang berada dilingkungan peradilan tata usaha negara, maka keberadaan Pengadilan Pajak harus sesuai dengan prinsip dasar kekuasaan kehakiman sebagaiamana amanat konstitusi dan peraturan perundang – undangan dibidang kekuasaan kehakiman. Untuk itu dalam sub bab berikutnya akan diuraikan apakah keberadaan Pengadilan Pajak telah sesuai dengan sistem peradilan di Indonesia.
II.2 Pengadilan Pajak Dalam Lingkungan Peradilan Tata Usaha Negara
Pengadilan Pajak saat ini diatur dalam Ketentuan Undang – Undang No.14 Tahun 2002 tentang Pengadilan Pajak. Dalam ketentuan undang – undang ini yang dimaksud Pengadilan Pajak berdasarkan ketentuan Pasal 2 adalah badan peradilan yang melaksanakan kekuasaan kehakiman bagi Wajib Pajak atau Penanggung Pajak yang mencari keadilan terhadap Sengketa Pajak. Selanjutnya ketengtuan Pasal 3 menyebutkan bahwa Pengadilan Pajak berkedudukan di ibukota Negara.
Kewenangan Pengadilan Pajak adalah menyelesaikan Sengketa Pajak. Sengketa Pajak menurut ketentuan Pasal 1 angka 5 adalah sengketa yang timbul dalam bidang perpajakan antara Wajib Pajak atau Penanggung Pajak dengan pejabat yang berwenang sebagai akibat dikeluarkannya keputusan yang dapat diajukan Banding atau Gugatan kepada Pengadilan Pajak berdasarkan peraturan perundang – undangan di bidang perpajakan, termasuk Gugatan atas pelaksanaan penagihan berdasarkan Undang – Undang Penagihan Pajak dengan Surat Paksa.
Pengertian Banding menurut ketentuan Pasal 1 angka 6 adalah upaya hukum yang dapat dilakukan oleh Wajib Pajak atau Penanggung Pajak terhadap suatu keputusan yang dapat diajukan Banding berdasarkan peraturan perundang – undangan yang berlaku di bidang perpajakan.. Sedangkan yang dimaksud Gugatan menurut ketentuan Pasal 1 angka 7 adalah upaya hukum yang dapat dilakukan oleh Wajib Pajak atau Penanggung Pajak terhadap pelaksanaan penagihan Pajak atau terhadap keputusan yang dapat diajukan Gugatan berdasarkan peraturan perundang – undangan perpajakan yang berlaku.
Sebagai salah satu pengadilan khusus sebagaimana dimaksud dalam penjelasan Pasal 7 UU No.48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman berkaitan dengan (juncto) penjelasan ketentuan Pasal 9A UU No. 51 Tahun 2009 tentang Peradilan Tata Usaha Negara yang menyebutkan bahwa yang dimaksud dengan pengkhususan adalah diferensiasi atau spesialisasi di lingkungan peradilan tata usaha negara, kedudukan Pengadilan Pajak sebagai pengadilan khusus masih belum tegas oleh karena dalam UU No.14 Tahun 2002 tentang Pengadilan Pajak tidak ada satupun ketentuan yang menyatakan bahwa Pengadilan Pajak merupakan pengadilan khusus yang berada dibawah Mahkamah Agung sebagaimana telah ditentukan secara limitatif dalam Pasal 24 ayat (2) UUD Negara RI Tahun 1945 peradilan apa saja yang berada di bawah Mahkamah Agung.
Menurut Muchsin Pengadilan Pajak lebih tepat berada dalam lingkungan Peradilan Tata Usaha Negara karena selain telah disebut secara tegas (expressive verbis) berada di bawah lingkungan Pengadilan Tata Usaha Negara sebagaimana disebutkan dalam Penjelasan Pasal 27 UU No.48 tahun 2009 jo. Penjelasan Pasal 21 UU No. 4 Tahun 2004 jo. Penjelasan Pasal 9A UU No.51 tahun 2009 jo. UU No. 9 Tahun 2004 juga didasarkan pada kemiripan objek yang diperiksa di Pengadilan Pajak dengan objek yang diperiksa di Pengadilan Tata Usaha Negara.[19]
Objek gugatan di Pengadilan Pajak sebagaimana disebutkan dalam ketentuan Pasal 1 angka 4 UU No.14 Tahun 2002 berbunyi sebagai berikut:
“Keputusan adalah suatu penetapan tertulis di bidang perpajakan yang dikeluarkan oleh pejabat yang berwenang berdasarkan peraturan perundang-undangan perpajakan dan dalam rangka pelaksanaan Undang – Undang Penagihan Pajak dengan Surat Paksa”
Sedangkan objek gugatan di Pengadilan Tata Usaha Negara berdasarkan ketentuan Pasal 1 angka 9 UU No. 51 Tahun 2009 berbunyi sebagai berikut:
“Keputusan Tata Usaha Negara adalah suatu penetapan tertulis yang dikeluarkan oleh badan atau pejabat tata usaha negara yang berisi tindakan hukum tata usaha negara yang berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku yang bersifat konkret, individual, dan final yang menimbulkan akibat hukum bagi seseorang atau badan hukum perdata”.
Merujuk pada kedua ketentuan tersebut di mana keputusan yang menjadi objek gugatan di Pengadilan Pajak diterbitkan oleh pejabat yang berwenang, pejabat mana menurut ketentuan Pasal 1 angka 1 UU No.14 Tahun 2002 adalah Direktur Jenderal Pajak, Direktur Jenderal Bea dan Cukai, Gubernur, Bupati/Walikota, atau pejabat yang ditunjuk untuk melaksanakan peraturan perundang-undangan perpajakan. Sedangkan objek gugatan di Pengadilan Tata Usaha Negara diterbitkan oleh Pejabat atau Badan Tata usaha Negara, pejabat atau badan mana menurut ketentuan Pasal 1 angka 8 UU No.51 Tahun 2009 adalah badan atau pejabat yang melaksanakan urusan pemerintahan berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Oleh karenanya dapat disimpulkan bahwa pengertian pejabat yang berwenang dalam Undang –Undang Pengadilan Pajak adalah termasuk dalam pengertian Pejabat Tata Usaha Negara menurut Undang-Undang Peradilan Tata Usaha Negara sehingga cukup beralasan hukum apabila Pengadilan Pajak didudukkan dalam lingkungan Peradilan Tata Usaha Negara.
Terkait dengan aspek kelembagaan peradilan berdasarkan ketentuan Pasal 5 UU No.14 Tahun 2002 tentang Pengadilan Pajak disebutkan bahwa pembinaan teknis peradilan bagi Pengadilan Pajak dilakukan oleh Mahkamah Agung, sedangkan terkait pembinaan organisasi, administrasi, dan keuangan dilakukan oleh Departemen Keuangan.
Ketentuan mengenai pembinaan terhadap Pengadilan Pajak merujuk pada ketentuan tersebut apabila dikaitkan dengan ketentuan yang terdapat dalam Undang – Undang Kekuasaan Kehakiman menunjukkan adanya inkonsistensi serta tidak taat asas. Pasal 21 UU No.48 Tahun 2009 menghendaki agar mengenai urusan organisasi, administrasi dan finansial badan peradilan di bawah Mahkamah Agung berada di bawah kekuasaan Mahkamah Agung. Hal mana sesuai dengan asas penyelenggaraan kekuasaan kehakiman di mana badan peradilan harus diselenggarakan lepas dari campur tangan pihak lain dan untuk menjaga kemandirian badan peradilan dalam rangka mewujudkan peradilan yang bersih dan berwibawa.
Dalam rangka menjaga dan menegakkan kekuasaan kehakiman yang bebas dan merdeka pada hakekatnya tidak dapat dilepaskan dari persoalan pengaturan organisasi, personalia, administrasi, keuangan, pembinaan dan pengawasannya.[20] Dengan demikian ketentuan undang – undang perpajakan terkait dengan pembinaan organisasi, administrasi dan keuangan yang dilakukan oleh Departemen Keuangan adalah tidak taat asas dan tidak tepat oleh karena Menteri Keuangan selaku Pimpinan Depertemen Keuangan adalah pembantu Presiden sebagai Kepala Pemerintahan yang memiliki kekuasaan setingkat dengan yudikatif. Adanya dualisme pembinaan dan pengawasan terhadap Pengadilan Pajak dapat mempengaruhi nilai – nilai kemandirian serta netralitas badan peradilan yang tentunya tidak sesuai dengan asas penyelenggaraan kekuasaan kehakiman sebagaimana tertuang dalam ketentuan Pasal 24 Undang – Undang Dasar Negara RI Tahun 1945.
Tujuan utama dari asas penyelenggaraan kekuasaan kehakiman yang bebas dan merdeka dari campur tangan pihak lain menurut Yahya Harahap sebagaimana dikutip Muchsin adalah tidak lain agar peradilan dapat terlaksana dengan jujur dan adil (to ensures a fair and just trial) serta agar peradilan mampu berperan mengawasi semua tindakan pemerintahan (to enable the judges to exercise control over government action). Oleh karena itu sesuai dengan tuntutan pokok kemandirian badan peradilan, maka pengadilan harus bebas dari pengaruh dan kekuasaan eksekutif (independence from the executive power).[21]
Kekhususan lain dari Pengadilan Pajak yang terkait dengan aspek kemandirian badan peradilan adalah mengenai pengangkatan Hakim Pengadilan Pajak. Menurut Ketentuan Pasal 8 ayat (1) disebutkan bahwa: “ Hakim diangkat oleh Presiden dari daftar nama calon yang diusulkan oleh Menteri setelah mendapat persetujuan Ketua Mahkamah Agung”. Ketentuan yang menyebutkan Hakim diangkat dari daftar nama yang diusulkan Menteri tidak berbeda dengan pengangkatan Hakim Pengadilan Tata Usaha Negara menurut UU No. 5 Tahun 1986 sebelum diubah dengan UU No.51 Tahun 2009.
Apabila ketentuan pengangkatan Hakim Pajak tersebut dikaitkan dengan sistem peradilan yang menganut sistem satu atap (one roof system) sebagaimana spirit Undang – Undang Kekuasaan Kehakiman, maka hal tersebut sudah tidak dapat lagi dipertahankan oleh karena tidak sejalan dengan asas penyelenggaraan kekuasaan kehakiman yang bebas dan merdeka.
Kemudian terkait dengan syarat - syarat pengangkatan Hakim Pengadilan Pajak sebagaimana disebutkan dalam Pasal 9 ayat (1) huruf f yang berbunyi :
” mempunyai keahlian di bidang perpajakan dan berijazah sarjana hukum atau sarjana lain”.
Apabila ketentuan ini dikaitkan dengan praktek yang selama ini terjadi dalam pengangkatan Hakim Pengadilan Pajak yaitu diangkat dari sarjana ekonomi yang merupakan mantan pegawai Ditjend Pajak sebagaimana diterangkan oleh Abdullah Anshari Ritonga dalam suatu wawancara yang dilakukan oleh Marah Sutan Nasution wartawan Hukumonline.[22] Hal tersebut merupakan salah satu hal yang perlu diperbaiki untuk menjaga kemandirian Pengadilan Pajak, sehingga perlu ada perubahan atas pola rekruitmen hakim Pengadilan Pajak.
Terkait pola rekruitmen dan komposisi Hakim Pengadilan Pajak dapat diterapkan sebagaimana yang terdapat dalam pengadilan khusus di lingkungan peradilan umum, misal di Pengadilan Hubungan Industrial atau di Pengadilan Niaga sebagaimana pendapat Muchsin yang mengusulkan hakim Pengadilan Pajak diambil dari hakim karir Pengadilan Tata Usaha Negara yang bertindak sebagai ketua majelis, sedangkan hakim anggota diisi dari hakim ad hoc yang diangkat dari praktisi dan akademisi.[23]
III. Kesimpulan
Bahwa peradilan sebagai sebuah sistem mempunyai peranan yang cukup signifikan dalam ikut membangun pemerintahan yang bersih dan berwibawa (clean government). Peradilan yang tidak independen dan cenderung korup telah terbukti ikut memberikan kontribusi dalam keterpurukan berbangsa dan bernegara sebagaimana terlihat dalam indeks persepsi permasalahan korupsi yang tentunya berdampak dalam program pemerintah mewujudkan masyarakat yang adil dan makmur sebagaimana amanat konstitusi.
Bahwa keberadaan Pengadilan Pajak dalam sistem Peradilan di Indonesia masih menggambarkan adanya campur tangan eksekutif dalam kekuasaan kehakiman sebagaimana tercermin dalam ketentuan yang mengatur tentang Pengadilan Pajak yaitu Undang – Undang No.14 Tahun 2002 tentang Pengadilan Pajak, hal mana tentunya tidak sejalan dan tidak sesuai dengan prinsip dasar penyelenggaraan kekuasaan kehakiman yang bebas dan merdeka (independence of judiciary) seperti tercantum dalam Pasal 24 UUD Negara RI Tahun 1945 yang bisa mengakibatkan dirugikannya para pencari keadilan (justiciabelen).
Dengan demikian untuk mewujudkan sistem peradilan yang independen dalam rangka melindungi kepentingan pencari keadilan dan mencegah penyimpangan di Pengadilan Pajak yang bisa merugikan kepentingan umum, maka keberadaan Pengadilan Pajak perlu diubah dan diperbaiki sesuai dengan prinsip dasar penyelenggaraan kekuasaan kehakiman yang bebas dan merdeka sebagaimana tercantum dalam Pasal 24 UUD Negara 1945 sebagaimana diatur lebih lanjut dalam UU No. 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman.
REFERENSI
BUKU
- Bachsan Mustafa, Sistem Hukum Administrasi Negara Indonesia, Citra Aditya Bakti, Bandung, 2001.
- Bagir Manan, Sistem Peradilan Berwibawa (Suatu Pencarian), MA RI, Jakarta, 2007.
- S. F Marbun, Peradilan Administrasi dan Upaya Administrasi di Indonesia, UII Press, Yogyakarta, 2003.
- Sudikno Mertokusumo, Bab- Bab Tentang Penemuan Hukum, Citra Aditya Bakti, 1993.
MAKALAH
- Muchsin, Reformasi Pengadilan Pajak, Varia Peradilan, Edisi No. 294, Mei 2010.
- Valerin J.L Kriekhof, Analisis Konten: Penerapannya Dalam Praktek Peradilan, Makalah dalam Bagir Manan (Ilmuwan dan Penegak Hukum), MA RI, 2008.
- Ibnu Purna, Pemberantasan Mafia Hukum, www.setneg.go.id.
Website
- Todung: Korupsi tertinggi di lembaga peradilan,www.tempointeraktif.com
- Wawancara Ketua Pengadilan Pajak Abdullah Anshari Ritonga: Kami Bukan Penguber Target Setoran Pajak, www.hukumonline.com.
- Perlunya Regulasi Perubahan Pengadilan Pajak, www.politikindonesia.com
- Gayus divonis Tujuh Tahun, www.kompas.com
- Perubahan Ke-tiga UUD Negara RI Tahun 1945, www.mpr.go.id
PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN
- UUD NEGARA RI TAHUN 1945
- UU NO. 48 TAHUN 2009 Tentang Kekuasaan Kehakiman
- UU NO. 14 TAHUN 2002 Tentang Pengadilan Pajak
- UU NO. 51 TAHUN 2009 Tentang Peradilan Tata Usaha Negara
[1] Perubahan Ke-tiga Undang – Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, Jakarta, 9 Nopember 2001, www.mpr.go.id.
[2] Pasal 1 angka 8 Undang-Undang No. 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman.
[3] Gayus divonis Tujuh Tahun, 19 Januari 2011, www.kompas.com.
[4] Perlunya Regulasi Perubahan Pengadilan Pajak, 24 April 2010, www.politikindonesia.com
[5] Undang – Undang Republik Indonesia No.14 Tahun 2002 tentang Pengadilan Pajak
[6] Ibid.
[7] Valerine J. L. Kriekhof, Analisis Konten : Penerapannya Dalam Praktek Peradilan, Makalah dalam Bagir Manan (Ilmuwan & Penegak Hukum), Mahkamah Agung RI, 2008, hlm. 133
[8] TODUNG: Korupsi Tertinggi Di Lembaga Peradilan, 12 Nopember 2003, www.tempointeraktif.com
[9] IBNU PURNA, Pemberantasan Mafia Hukum, 6 Januari 2010, www.setneg.go.id
[10] Bachsan Mustafa, Sistem Hukum Administrasi Negara Indonesia, Citra Aditya Bakti, Bandung, 2001, hlm 10-11
[11] www.artikata.com
[12] Bagir Manan, Sistem Peradilan Berwibawa (Suatu Pencarian), Mahkamah Agung RI, Jakarta, 2007, hlm.17
[13] Pasal 2 ayat (1) UU No.48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman
[14] Sudikno Mertokusumo, Bab – Bab Tentang Penemuan Hukum, Citra Aditya Bakti, 1993, hlm.2
[15] Pasal 3 UU No.48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman
[16] Pasal 20 ayat (1) dan ayat (2) UU No. 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman
[17] Pasal 25 UU No.48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman
[18] Pasal 23 dan 26 UU No.48 tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman
[19] Muchsin, Reformasi Pengadilan Pajak, Varia Peradilan No.294, Mei 2010, hlm.42
[20] S.F Marbun, Peradilan Administrasi dan Upaya Administrasi di Indonesia, UII PRESS, Yogyakarta, 2003, hlm.42-43
[21] Muchsin, Reformasi…, op.cit hlm.41
[22] Wawancara Ketua Pengadilan Pajak Abdullah Anshari Ritonga: Kami Bukan Penguber Target Setoran Pajak, www.hukumonline.com, 16 Mei 2008.
[23] Muchsin, Reformasi…, op.cit, hlm.45.
* Tulisan dibuat dalam rangka DWI DASA WARSA PERATUN.
No comments:
Post a Comment