Kesejahteraan, Harkat, Martabat dan Wibawa Hakim*
Oleh A.Agus Bahauddin
( Hakim Tinggi, Pengadilan Tinggi Agama Jambi).
Peradilan merupakan lembaga yang memiliki kekuasaan luas dan tiang pokok bangunan negara. Sebagai lembaga yang berwenang mengadili, peradilan melaksanakan fungsi yudikatifnya menegakkan hukum, keadilan dan kebenaran. Fungsi yudikatif lembaga peradilan ini melaksanakan juga fungsi eksekutif, menjaga dan menegakkan hukum, serta melaksanakan fungsi legislatif, penemuan dan pembentukan hukum.
Lembaga peradilan haruslah didukung personil-personil pilihan yang handal, memiliki tingkat profesionalitas tinggi, keimanan yang dalam, kematangan intelektual, serta integritas moral. Dipandang dari sudut psikologis, filosofis dan religi, hakim adalah jabatan utama dan mulia dalam lembaga peradilan. Tidaklah tepat kalau jabatan ini diserahkan kepada orang-orang yang lemah profesionalismenya, wawasan keilmuan dan moralnya. Jabatan hakim di manapun di dunia ini selalu dipatok persyaratan maksimum seperti layaknya persyaratan para Nabi.
Demikianlah seharusnya bagi para hakim untuk mengimplementasikan sifat-sifat Nabi, yaitu siddiq, amanah, tabligh, dan fatanah dalam melaksanakan tugas dan fungsinya sebagai hakim seperti layaknya wakil Tuhan yang berwenang menerima, memeriksa, memutus dan menyelesaikan suatu perkara yang diajukan kepadanya. Sifat-sifat tersebut juga harus mempengaruhi perilaku hakim di luar kedinasan. Perilaku terjadi karena adanya interaksi antara hakim yang memiliki latar belakang, sifat, karakter dan kepribadian berbeda dengan institusi formal lembaga peradilan. Perilaku yang sesuai dengan aturan dan tuntutan institusi merupakan perilaku positif, sebaliknya adalah perilaku negatif.
Tugas pokok dan fungsi hakim seperti tersebut di atas, dalam ilmu manajemen proses disebut problem solving dan decision making. Ada dua etika dalam memangku jabatan Hakim, seyogyanya kepribadian, watak atau karakternya dapat dibentuk oleh karakter jabatan hakim tersebut. “ The old judge is never die “ karena hakim tidak sekedar soal jabatan atau pekerjaan saja, tetapi telah mengkristal menjadi kepribadian dan perilaku yang akan mewarnai kehidupannya sampai akhir hayat, dan diteruskan generasi berikutnya.
Hakim juga dituntut melaksanakan prinsip pokok kehakiman. Ada dua prinsip pokok dalam sistem peradilan : 1. The principle of judicial independence, harus diwujudkan dalam sikap para hakim dalam memeriksa dan memutus perkara yang dihadapinya. 2. The principle of judicial impartiality, adalah prinsip ketidakberpihakan. (Jimly Asshiddiqie, 2010 : 316). Kedua prinsip ini diakui sebagai prasyarat pokok sistem peradilan di semua negara yang disebut hukum modern atau modern constitutional state.
Disamping prinsip di atas, ada prinsip yang tidak kalah pentingnya merupakan hasil pengembangan dua prinsip tersebut, tentu saja dalam perspektif hakim, yaitu prinsip-prinsip independence (kebebasan), impartiality (ketidakberpihakan), integrity (integritas), propriety (kepantasan dan kesopanan), aquality (kesetaraan), dan competence and diligence (kecakapan dan kesaksamaan). Keenam prinsip kehakiman tersebut adalah hasil forum International Judicial Conference di Bangalore India 2001 telah berhasil disepakati kode etik dan perilaku hakim se dunia diterima luas oleh berbagai kalangan hakim di dunia dengan sebutan resmi The Bangalore Principles of Judicial Conduct. (Ibid : 317). Prinsip-prinsip itu dijadikan oleh hakim Indonesia dirumuskan sendiri kode etik yang berlaku di Indonesia. Dalam hubungan ini Mahkamah Agung telah menetapkan Pedoman Kode Etik Hakim.
Dengan kepribadian, perilaku, tugas dan fungsi yang dibebankan di pundak para hakim yang semuanya telah diimplementasikan dengan baik belum cukup untuk mengangkat harkat, martabat, wibawa atau kehormatan hakim. Prinsip independensi Hakim disamping harus diwujudkan dalam sikap para hakim dalam memeriksa dan memutus perkara, juga tercermin dalam berbagai peraturan perundangan mengenai hal-hal yang berkaitan dengan pengangkatan, masa kerja, pengembangan karier, sistem penggajian, protokoler dan pemberhentian para Hakim. Sistem penggajian dan tunjangan, jaminan kesehatan, kendaraan dinas, rumah dinas, dan jaminan keamanan adalah bagian dari kesejahteraan hakim.
Disamping itu aturan protokoler bagi hakim terutama dalam acara-acara resmi kenegaraan perlu segera ditetapkan Presiden. Itu semua telah diatur dalam perundang-undangan semua lingkungan peradilan, yaitu UU No 43 Tahun 1999 tentang Pokok-Pokok Kepegawaian, UU No 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman, UU No 49 Tahun 2009 perubahan kedua tentang Peradilan Umum, UU No 50 Tahun 2009 perubahan kedua tentang Peradilan Agama, dan UU No 51 perubahan kedua tentang Peradilan Tata Usaha Negara. Pasal 11 ayat (1) huruf (d) dan ayat (3) UU Nomor 43 Tahun 1999 menyatakan bahwa Ketua, Wakil Ketua, Ketua Muda, dan Hakim Agung pada Mahkamah Agung, serta Ketua, Wakil Ketua dan Hakim pada semua Badan Peradilan adalah Pegawai Negeri yang diangkat menjadi Pejabat Negara tertentu yang tidak perlu diberhentikan dari jabatan organiknya. Dalam penjelasannya, yang dimaksud dengan Hakim pada Badan Peradilan adalah Hakim yang berada di Lingkungan Peradilan Umum, Peradilan Agama, Peradilan Tata Usaha Negara, dan Peradilan Militer. Pasal 48 ayat (1) dan (2) UU Nomor 48 Tahun 2009 menyatakan bahwa negara memberikan jaminan keamanan dan kesejahteraan hakim dalam menjalankan tugas dan tanggung jawab penyelenggaraan kekuasaan kehakiman, yang kemudian diatur dalam perundangan semua Badan Peradilan, yaitu UU Nomor 50 Tahun 2009 Perubahan Kedua Tentang Peradilan Agama, UU Nomor 49 Tahun 2009 Perubahan Kedua Tentang Peradilan Umum, dan UU Nomor 51 Tahun 2009 Perubahan Kedua Tentang Peradilan Tata Usaha Negara, dengan tidak merubah pasal-pasal yang berkaitan dengan jaminan negara terhadap keamanan, kesejahteraan, dan protokoler hakim. Pasal-pasal tersebut sampai sekarang belum berhasil direalisasikan.
Tuntutan peningkatan kesejahteraan hakim sebagai pejabat negara adalah tuntutan yang wajar dan realistis, karena tuntutan ini semata-mata adalah tuntutan realisasi ketentuan perundang-undangan yang sudah ada. UU Nomor 43 Tahun 1999 telah diberlakukan selama sepuluh tahun lebih. Dengan menambah rasa syukur hakim kepada Allah SWT apa yang telah para hakim terima selama ini berupa tambahan tunjangan kinerja atau remunerasi sejak 2007 sebesar 70 %, tetapi di era modern ini kiranya layak menurut ukuran akal berjuang berusaha meningkatkan kesejahteraan dan keamanan hakim disesuaikan dengan tugas dan tanggung jawab yang berat sebagai hakim melaksanakan fungsi yudikatif, eksekutif, dan legislatif.
Tuntutan peningkatan kesejahteraan oleh hakim akhir-akhir ini semata-mata mengingatkan kembali pemerintah untuk membuka ketentuan perundang-undangan berkaitan kesejahteraan hakim dimaksud yang telah dibuatnya sendiri. Sama-sama kita ketahui institusi peradilan notabene hakim adalah pejabat negara setara kedudukannya dengan pejabat negara lainnya dari eksekutif maupun legislatif. Pemerintah seyogyanya tidak menutup mata sebelah menganaktirikan hakim. Fakta di lapangan, bahwa kesejahteraan hakim yang tidak memadahi salah satu sebab tumbuhnya mafia hukum, kata orang lain di luar peradilan, karena warga peradilan tidak mengenal sebutan itu, tetapi dengan sebutan oknum. Tentunya jika hal itu ada, tidak dapat dijadikan tolok ukur satu-satunya penyebab, karena oknum tersebut tidaklah signifikan jumlahnya, lebih banyak hakim yang kredibel.
Kepribadian dan perilaku Hakim yang dibalut dengan keimanan yang kuat, sudah pasti memberikan jaminan bahwa hakim akan terangkat harkat, martabat dan kehormatannya. Hakim adalah manusia biasa meskipun ada predikat pribadinya sebagai wakil Tuhan, tetapi hakim yang diatas kertas konon sebagai pejabat negara, dalam melaksanakan tugas dan fungsinya membutuhkan ketenangan, ketenteraman, dan konsentrasi.
Di sisi lain Hakim sebagai kepala keluarga atau mungkin ibu rumah tangga di pundak mereka ada beban tanggung jawab keluarga mereka untuk menjadikan rumah tangga yang utuh, sakinah, mawaddah wa rahmah. Itu semua membutuhkan fasilitas yang memadai. Oleh karena untuk kepentingan dinas dan sering terjadinya promosi dan mutasi yang menempatkan para hakim di seluruh wilayah Indonesia yang tidak bisa dihindari dan dengan ikhlas para hakim harus berpisah dengan keluarga mereka, karena hakim di tempat yang baru harus mencari kontrakan rumah, atau sewa kamar, belum lagi memikirkan alat transportasi dan kelengkapan rumah tangga lainnya. Bahkan ada hakim di salah satu ibukota propinsi naik sepeda motor, ojek, dan angkot, karena terpaksa tidak ada fasilitas untuk itu. Pernah seorang hakim naik sepeda motor nomor plat merah ke satu tempat karena suatu keperluan. Kebetulan hakim tadi ketemu di tempat itu dengan seorang praktisi hukum diluar peradilan yang memang sudah saling kenal sebelumnya, untuk keperluan yang sama. Dengan nada kaget, praktisi hukum tersebut berujar ; bapak naik sepeda motor ya ; bapak kan hakim ; mestinya naik mobil bersama sopir pak, untuk kenyamanan dan keamanan bapak sendiri. Ya apa boleh buat pimpinan kami hanya memfasilitasi sepeda motor. Ya ada beberapa mobil dinas dan sopir di kantor, tetapi untuk operasional bukan untuk Hakim, jawab Hakim tadi.
Melihat percakapan praktisi hukum dengan hakim tersebut, ternyata dengan naik sepeda motor saja, dapat menurunkan harkat, martabat, dan wibawa hakim dimata orang lain di luar peradilan. Aneh rasanya, bagaimana mungkin orang lain mengangkat harkat, martabat dan wibawa para hakim kita, sedangkan pimpinan peradilan tempat hakim bekerja tidak bisa menjaga harkat, martabat, dan wibawa hakim yang dipimpinnya. Fakta seperti itu sudah seyogyanya tidak terulang lagi di era reformasi peradilan ini, era modern, era globalisasi, bahkan di era informasi dan teknologi. Layakkah kesejahteraan hakim sebagai wakil Tuhan lebih rendah daripada kesejahteraan wakil rakyat yang notabene sama-sama berstatus sebagai pejabat negara.
Di Vietnam saja yang negaranya lebih miskin dari Indonesia, mampu mendudukkan kesejahteraan hakim pada posisi semestinya. Peningkatan kesejahteraan hakim lebih tinggi setara dengan pejabat negara lainnya dan pengawasan intern dan ekstern yang ketat akan sangat menguntungkan bagi hakim-hakim yg memiliki sifat siddiq, amanah, tabligh, dan fatanah. Sebaliknya jika kesejahteraan hakim terabaikan, dengan pengawasan superketat sekalipun, maka akan menyengsarakan seluruh hakim, baik hakim yang jujur dan adil maupun hakim-hakim yang nakal.
Sudah sewajarnya hakim menunutut haknya karena undang-undang dengan tegas dan jelas mengatur demikian. Kalaulah sampai saat ini pemerintah belum merealisasikannya oleh karena kelalaian atau kesengajaan, yang jelas pemerintah telah membuat diskriminasi terhadap sesama pejabat negara itu sendiri. Kalau dalam hal ini dikatakan pemerintah dan DPR tidak mengetahui juga tidak mungkin, karena pembuat undang-undang itu adalah pemerintah bersama DPR.
Andy Nurvita hakim Pengadilan Negeri Salatiga Jawa Tengah penggagas grup facebook penuntut kesejahteraan hakim, mendapat tanggapan positif yang beragam. Hakim Agung Syamsul Maarif menyatakan mengikuti dan menyimak selalu isu yang berkaitan dengan peradilan, yang memang diundang untuk bergabung dengan grup tersebut. Beliau membaca dan mengikuti perdebatan mengenai berbagai isu terkait dengan peradilan. Menurut beliau , isu- isu yang diperdebatkan dalam group ini sangat menarik dan karena itu perlu ditindak- lanjuti dengan langkah- langkah yang efektif dapat diterima oleh pihak- pihak yang berwenang. Dalam jumpa pers yang tidak dihadiri Andy, Ketua Umum Ikatan Hakim Indonesia (IKAHI), Hatta Ali menegaskan bahwa tak ada pelanggaran yang dilakukan oleh hakim Pengadilan Negeri Salatiga Jawa Tengah itu. Pasalnya, kepada Mahkamah Agung Andy Nurvita membantah merencanakan aksi turun ke jalan. Jadi seandainya yang bersangkutan Andy Nurvita menggagas untuk melakukan demo itu jelas melanggar kode etik seorang hakim. Tapi setelah kami tanyakan tidak pernah terpikir pun untuk demo," kata Hatta, yang juga Ketua Muda Pengawasan MA, dalam jumpa persnya, di Gedung MA, Jakarta, Kamis 21-4-2011. (primaironline).
Seperti diketahui, grup facebook dengan nama Rencana Peserta Aksi Hakim Indonesia Menggugat Presiden dan DPR RI telah diikuti oleh empat ribu orang lebih. Sebagian besar anggota grup adalah hakim di seluruh Indonesia. Ketua Umum Ikatan Hakim Indonesia (IKAHI) Hatta Ali mengakui adanya suatu gagasan besar dari para hakim untuk mewujudkan independensi anggaran. Itulah yang diperjuangkan hakim Teguh, hakim PTUN Semarang mengajukan uji materi terhadap UU Nomor 3 Tahun 2009 Tentang Mahkamah Agung yang intinya menuntut independensi anggaran kata Hatta, dalam jumpa persnya, di Gedung MA, Jakarta Kamis 21-4-2011. (Ibid). Hatta melanjutkan, terkait perjuangan Teguh melalui rencana uji materi tersebut, sebenarnya, inti tujuannya sudah masuk dalam program IKAHI. Kesejahteraan hakim memang perlu diutamakan.
Terkait uji materi yang direncanakan Teguh, pada intinya berencana melakukan uji materi agar kekuasaan kehakiman di bawah MA dapat mengelola mata anggaran di APBN secara mandiri. Pengawasan, administrasi dan urusan perbendaharaan anggaran MA yang selama ini tetap melibatkan pemerintah tak perlu dilakukan. Sebab, kekuasaan kehakiman adalah kekuasaan yang merdeka bahkan dari segi anggaran. Sebagai pengurus IKAHI akan terus menampung opini kesejahteraan hakim. Jadi begini kalau kita melihat kesejahteraan hakim dibandingkan dengan PNS yang lain memang cukup memadai. Tetapi para hakim ini merasa bahwa hal tugas dan fungsi seorang hakim tanggung jawabnya sangat besar," jelas Hatta. Hatta menuturkan, pendapatan hakim itu berbeda-beda. Pembagiannya, berdasarkan jenis peradilan, kelas pengadilan hingga kepangkatan. Sampai saat ini remunerasi belum mencapai 100 persen. Sistem anggaran masih ada di pemerintah, ujar Hatta. (Ibid).
Gagasan kesejahteraan hakim harus diselaraskan dengan reformasi peradilan yang dicanangkan oleh Mahkamah Agung dalam Buku Cetak Biru Pembaruan Peradilan 2010-2035 yang masuk dalam agenda arahan pembaruan pengelolaan anggaran secara mandiri, yang tertulis pada halaman 55 – 57.
Pada tahun 2009, MA memiliki 793 satuan kerja dari tingkat pusat sampai daerah. Jumlah ini implikasi dari one roof sistem . Tantangannya di bidang keuangan dan anggaran adalah : pertama, meluasnya rentang kendali yang menimbulkan masalah koordinasi vertikal karena satuan kerjanya tersebar di seluruh Indonesia; kedua, adanya perbedaan latar belakang SDM yang memunculkan perbedaan kompetensi, kultur dan etos kerja; ketiga, butir-butir masalah di atas menyebabkan mekanisme dan pola koordinasi kelembagaan yang dilakukan oleh satuan kerja di antara lingkungan peradilan menjadi kurang optimal.
Permasalahan lain yang dihadapi MA adalah terbatasnya alokasi dana untuk melaksanakan kegiatan. Usulan perencanaan anggaran yang diajukan oleh MA melalui proses pembahasan dengan Bappenas dan Kementerian Keuangan, acap kali tidak mendapatkan alokasi dana sebagaimana yang diajukan dalam rencana. Untuk menjamin efektivitas pelaksanaan tugas dan tanggung jawab MA sebagai lembaga penegak hukum, maka ketersediaan alokasi dana merupakan hal yang utama.
Dalam teori pembagian kekuasaan negara yang dikenal Trias Politika, Badan Peradilan sebagai lembaga yudikatif memiliki kedudukan yang setara dengan lembaga legislatif dan lembaga eksekutif. Oleh karena itu, Badan Peradilan seharusnya memiliki kewenangan yang sama dengan Pemerintah dalam menetapkan jumlah anggaran. Selama ini, Badan Peradilan mendapatkan anggaran didasarkan pada pagu yang ditetapkan sepihak oleh Pemerintah tanpa dikonsultasikan lebih dulu, sehingga anggaran yang diusulkan Badan Peradilan tidak dapat dipenuhi secara optimal.
Alokasi Anggaran MA dalam APBN Dalam ribuan Rupiah | |
Tahun | Definitif |
2008 | 5.852.163.766 |
2009 | 5.473.083.231 |
2010 | 5.219.948.230 |
Sumber: Diolah dari Data Pagu Definitif |
Pasal 81A ayat (1) Undang-Undang No. 3 Tahun 2009 tentang Perubahan Kedua atas Undang-Undang No. 14 Tahun 1985 tentang MA menyatakan “Anggaran Mahkamah Agung dibebankan pada mata anggaran tersendiri dalam anggaran pendapatan dan belanja negara”. Pasal dimaksud telah mengamanatkan kepada jajaran MA untuk mengupayakan adanya kemandirian, baik dalam penganggaran maupun dalam pelaksanaan anggaran. Supaya kemandirian anggaran MA terwujud, maka diperlukan langkah-langkah berikut:
- Menumbuhkan pemahaman bersama tentang kemandirian anggaran Badan Peradilan;
- Mengkaji peraturan perundang-undangan yang berkaitan dengan kemandirian anggaran Badan Peradilan;
- Menentukan tingkat kemandirian anggaran Badan Peradilan;
- Mendorong dibentuknya undang-undang yang berisi kemandirian anggaran Badan Peradilan.
Untuk menumbuhkan pemahaman bersama tentang pentingnya kemandirian anggaran Badan Peradilan, maka diperlukan sosialisasi mengenai hal ini kepada para pemangku kepentingan yang terkait antara lain Bappenas, Kementerian Keuangan, Dewan Perwakilan Rakyat, lembaga penegak hukum lain, organisasi non-pemerintah, dan lain sebagainya. Hal lain yang diperlukan untuk menjamin keberhasilan kemandirian anggaran peradilan adalah dengan mendorong perubahan terhadap Undang-Undang No. 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara, Undang-Undang No. 1 Tahun 2004 tentang Perbendaharaan Negara serta paket undang-undang keuangan negara lainnya. Perubahan itu diperlukan sebagai prasyarat untuk mengakomodasikan konsep kemandirian anggaran badan peradilan. Sedangkan cakupan pembaruan pengelolaan anggaran untuk menuju kemandirian pengelolaan anggaran Badan Peradilan meliputi:
Tahapan pembaruan sistem pengelolaan anggaran Badan Peradilan menuju sistem kemandirian pengelolaan anggaran Badan Peradilan dibuat dalam rentang waktu 5 (lima) tahunan. Rentang waktu tersebut disesuaikan dengan pentahapan dalam sistem perencanaan nasional. Langkah-langkah di atas penting dan bersifat mendesak untuk dilakukan segera, mengingat keberhasilan dalam pengelolaan anggaran berbasis kinerja secara mandiri yang dialokasikan secara proporsional dalam APBN, merupakan salah satu faktor penting yang memungkinkan terwujudnya Badan Peradilan Indonesia yang agung. Semoga perjuangan para hakim kali ini akan berhasil. Amin. Wallahu A’lamu Bissawab.
DAFTAR BACAAN
Ansyahrul, SH, MHum, Efektifitas Pengawasan Melekat Sebagai Salah Satu Solusi Pembenahan Dunia Peradilan di Indonesia, Disampaikan pada acara Pembinaan/Koordinasi dan Konsultasi Pengawasan Badan Pengawasan Mahkamah Agung RI dengan Ketua Pengadilan Tingkat Pertama Kelas I A Empat Lingkungan Peradilan Seluruh Indonesia, 16-April-2007 di Tangerang.
Jimly Asshiddiqie, Prof. Dr. SH., Pengantar Ilmu Hukum Tata Negara, Cetakan Kedua, PT RajaGrafindo Persada, Jakarta, 2010.
Mahkamah Agung RI, Cetak Biru Pembaruan Peradilan 2010-2035, 2010.
Miftah Thoha, Perilaku Organisasi Konsep Dasar dan Aplikasinya, Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2004.
Portal Berita Hukum dan Politik “ primaironline”.
Pusat Bahasa Departemen Pendidikan Nasional Republik Indonesia, Kamus Besar Bahasa Indonesia, Daring.
Undang-Undang Nomor 43 Tahun 1999 Tentang Pokok-Pokok Kepegawaian.
Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 Tentang Kekuasaan Kehakiman.
Undang-Undang Nomor 49 Tahun 2009 Perubahan Kedua Tentang Peradilan Umum.
Undang-Undang Nomor 50 Tahun 2009 Perubahan Kedua Tentang Peradilan Agama.
Undang-Undang Nomor 51 Tahun 2009 Perubahan Kedua Tentang Peradilan Tata Usaha Negara.
Veithzal Rivai, Prof.Dr.M.B.A dan Deddy Mulyadi, Prof.Dr.M.Si, Kepemimpinan dan Perilaku Organisasi, Edisi Ketiga, PT RAJAGRAFINDO PERSADA, Jakarta, 2010.
* Telah di muat di www.pta-jambi.go.id Senin, 04 Juli 2011 14:50
No comments:
Post a Comment