Tuesday, December 27, 2011

Hakim, Suap, dan Kesejahteraan


Oleh Achmad Fauzi


Suara Karya Online Kamis, 1 Desember 2011
 

      Sorotan publik terhadap hakim akhir-akhir ini sangat tajam. Produk putusan yang dinilai tidak memenuhi rasa keadilan disinyalir memiliki kandungan kecurangan dan unsur kejahatan hukum di dalamnya. Di Pengadilan Tipikor (Tindak Pidana Korupsi), misalnya, vonis bebas dianggap petaka yang harus segera ditelusuri, baik dari segi materi putusan maupun kemungkinan keterlibatan oknum hakim dalam praktik jual beli hukum.

      Penulis sesungguhnya tidak setuju jika putusan pengadilan direcoki oleh otoritas non-yudisial karena bisa menjadi petaka bagi kemerdekaan hakim dalam mengadili suatu perkara. Sementara entitas pengadilan yang bebas dari pengaruh luar mensyaratkan adanya imunitas yudisial dan independensi hakim. Oleh karena itu, kita harus kembali kepada undang-undang yang memberikan saluran tersendiri sehingga ketidakpuasan terhadap putusan pengadilan ditempuh melalui upaya hukum yang lebih tinggi. 


     Kendati demikian masyarakat tetap memiliki ruang yang luas untuk memantau kinerja peradilan. Iklim keterbukaan peradilan yang selama ini dibangun serta rencana pendirian jejaring Komisi Yudisial (KY) di daerah sebagaimana termaktub dalam UU Komisi Yudisial yang baru, sangat membantu masyarakat dalam memantau dan melaporkan oknum hakim yang diduga melakukan pelanggaran kode etik dan mengurangi timbangan keadilan. Ini kemajuan menggembirakan.
           

     Lihat saja, data hukuman disiplin berikut ini. Sepanjang tahun 2010, Mahkamah Agung merilis setidaknya ada 110 hakim yang dikenai sanksi. Perinciannya, sebanyak 33 hakim dihukum berat, 13 hakim dihukum sedang, dan 64 hakim dihukum ringan. Sedangkan hukuman disiplin periode Januari-September 2011 yang dijatuhkan kepada hakim berjumlah 35 orang Pelanggaran kode etik yang dikategorikan berat, salah satunya adalah praktik jual beli hukum.
      

     Banyak pakar berasumsi bahwa praktik jual beli hukum tumbuh subur karena kran informasi di pengadilan tersumbat, sehingga menghambat hak publik untuk mengontrol secara langsung etos kerja aparat peradilan. Namun, asumsi itu tidak sepenuhnya benar. 

     Mahkamah Agung melalui KMA 1-144/2011 Tentang Pedoman Pelayanan Informasi di Pengadilan, telah membuka akses yang seluas-luasnya bagi masyarakat untuk memperoleh informasi, mulai dari publikasi putusan, transparansi anggaran dan biaya perkara, pos bantuan hukum, standar operasional prosedur beracara, hingga prosedur pengaduan bagi yang tidak puas atas pelayanan peradilan.

       Bahkan hasil penelitian Pemerintah Amerika Serikat (AS) terhadap layanan pengadilan di Indonesia, beberapa waktu lalu, menunjukkan persepsi positif. Sebanyak 70% masyarakat Indonesia menyatakan puas jika berurusan dengan birokrasi di pengadilan. Meski ada beberapa aparat peradilan yang tersangkut kasus suap dan pelanggaran kode etik lainnya, namun masyarakat menilai mekanisme kerja yang dibangun MA telah memenuhi syarat terwujudnya good sustainable development governance. 

Sebab Utama

    Penulis melihat bahwa persoalan utama praktik jual beli hukum di pengadilan lebih dipengaruhi oleh dua faktor, yakni moral dan finansial. Ketua Mahkamah Konstitusi, Moh Mahfud MD dalam seminar "Suap dan Pemerasan dalam Perspektif Moral dan Penegakan Hukum" yang diselenggarakan oleh Ikatan Alumni Universitas Islam Indonesia (UII), baru-baru ini mengatakan bahwa aturan moral di masyarakat lebih efektif dalam mencegah terjadinya suap dan pemerasan.
         

       Suap bagi hakim merupakan godaan berat dalam proses supremasi hukum dan keadilan. Kendati hakim kuat menahan godaan suap, tak jarang anak dan keluarganya menjadi sasaran suap. Para penyuap kadangkala paham membaca situasi, ia datang tatkala hakim atau keluarganya sedang membutuhkan sokongan finansial.
       

   Oleh karena itu, untuk membendung godaan suap, hakim harus membentengi diri dengan kesadaran moral dan keimanan yang kokoh. Kesadaran itu tentunya harus ditumbuhkan dan dibiasakan dari lingkungan keluarga yang notabene menjadi komunitas terkecil dalam masyarakat berbangsa.

     Ada ajaran kebajikan yang mengatakan, jika ingin menjadi bangsa bermartabat, maka perbaikilah perilaku pemimpinnya. Jika ingin memperbaiki moral pemimpin, tatalah peradaban masyarakatnya. Jika ingin memperbaiki kualitas masyarakat, maka perbaikilah moral keluarganya. Jika moral keluarga sudah baik, maka baik pula tatanan masyarakatnya, kualitas pemimpinnya, dan martabat bangsanya.

      Semangat untuk menegakkan kode etik/moral bagi hakim tanpa dibarengi dengan kebijakan pemerintah dengan memberikan gaji dan fasilitas yang cukup kepada hakim, seperti menegakkan benang yang basah. Perlu dipahami, bahwa hakim dalam UU disebut sebagai pejabat negara. Namun fasilitas dan penggajiannya tidak mencerminkan pejabat negara.

      Ketika PNS setiap tahun naik gaji, hakim tidak demikian. Banyak hakim di daerah yang harus mengontrak rumah petak, lantaran tidak memiliki rumah dinas. Ke kantor naik becak, angkot atau jalan kaki karena tidak ada kendaraan dinas. Sungguh sangat memprihatinkan. Mereka sangat rentan menerima suap jika tidak memiliki kesadaran moral yang tinggi.

            Mantan Ketua KPK Taufiequrrahman Ruki pernah menyampaikan bahwa reformasi aparatur peradilan bisa dilakukan, salah satunya dengan pemuliaan hakim. Yaitu, jadikan hakim sebagai the honourable, yang dimuliakan dengan memberi gaji, upah, tunjangan dan fasilitas terbaik bagi hakim. *** 


Penulis adalah Hakim Pengadilan Agama Kotabaru, Kalsel, alumnus UII Yogyakarta.

Monday, October 17, 2011

AAUPB

Asas – Asas Umum Pemerintahan Yang Baik  
Kaitannya Dengan Pembinaan PNS*

Oleh :
JOKO A. SUGIANTO, SH


A.     PENDAHULUAN
Dalam rangka usaha mencapai tujuan nasional untuk mewujudkan masyarakat madani yang taat hukum, berperadaban modern, demokratis, makmur, adil, dan bermoral tinggi, diperlukan Pegawai Negeri yang merupakan unsur aparatur negara yang bertugas sebagai abdi masyarakat yang menyelenggarakan pelayanan secara adil dan merata, menjaga persatuan dan kesatuan bangsa dengan penuh kesetiaan kepada Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945.
Kaitannya dengan upaya mencapai tujuan nasional tersebut untuk membentuk sosok Pegawai Negeri Sipil sebagaimana yang diharapkan, maka diperlukan upaya meningkatkan pembinaan Pegawai Negeri Sipil agar mampu menjalankan fungsi dan tugasnya secara profesional dan bertanggung jawab dalam menyelenggarakan tugas pemerintahan dan pembangunan, serta bersih dan bebas dari korupsi, kolusi, dan nepotisme.
Untuk itu salah satu upaya yang dapat dilakukan oleh PNS selaku aparatur negara adalah dengan memahami ketentuan – ketentuan yang terkait dengan tugas pokok dan fungsinya selaku pelayan publik (public servants). Ketentuan mana tidak hanya yang bersifat tertulis berupa peraturan perundangan yang berlaku, namun demikian juga hukum yang tidak tertulis berupa norma – norma yang hidup dan berkembang dalam masyarakat ((living law)  khususnya norma – norma pemerintahan (bestuursnormen). Norma pemerintahan ini dalam praktek penyelenggaraan urusan pemerintahan dikenal dengan istilah asas – asas umum pemerintahan yang baik (algemene beginselen van berhoorlijke bestuur). Norma mana  merupakan salah satu jenis meta norma yang merupakan norma hukum publik yang dapat dibedakan dengan dengan norma perilaku.
Dengan memahami dan menerapkan asas – asas umum pemerintahan yang baik dalam menyelenggarakan urusan pemerintahan oleh Pegawai Negeri Sipil tersebut diharapkan dapat tercipta tata kelola pemerintahan yang baik (good governance) sehingga dapat membantu terwujudnya tujuan pembangunan nasional mewujudkan masyarakat yang adil dan makmur.

B.   Sejarah Terbentuknya Asas-Asas Umum Pemerintahan yang Baik (AAUPB)
Sejak dianutnya konsep negara kesejahteraan (welfare state) yang merupakan antitesis dari konsep negara penjaga malam (nachtwakerstaat) telah memberikan kebebasan kepada negara melalui aparaturnya untuk bertindak atas inisiatif sendiri (freis ermessen) guna menyelesaikan permasalahan yang sedang dihadapi dan perlu segera diselesaikan. Dengan diberikannya keleluasaan bertindak kepada pemerintah ternyata dalam perkembangannya sering menimbulkan kerugian bagi warga masyarakat sehingga timbulah suatu kekhawatiran dari warga negara atas terjadinya kesewenang-wenangan oleh pemerintah.
Oleh karena itu untuk meningkatkan perlindungan hukum bagi warga negaranya pada tahun 1930 Pemerintah Belanda membuat suatu komisi yang dikenal dengan nama Komisi De Monchy. Komisi ini bertujuan untuk memikirkan dan meneliti beberapa alternatif untuk meningkatkan perlindungan hukum dari tindakan pemerintah yang menyimpang. Pada tahun 1950 komisi De Monchy kemudian melaporkan hasil penelitiannya tentang asas – asas umum pemerintahan yang baik (algemene beginselen van behorlijk bestuur). 
Sedangkan AAUPB di Indonesia dapat ditemukan riwayatnya dalam peraturan perundangan dibidang kekuasaan kehakiman yaitu dalam Pasal 14 ayat 1 UU No. 14 Tahun 1970 tentang Kekuasaan Pokok Kehakiman yang pada initinya menyebutkan bahwa hakim tidak boleh menolak suatu perkara dengan alasan bahwa hukum tidak atau kurang jelas. Selain itu pada Pasal 27 ayat 1 UU No. 14 Tahun 1970 ditegaskan bahwa hakim dapat menggali, mengikuti, dan memahami nilai-nilai hukum yang hidup di dalam masyarakat.
Kemudian pada saat pembahasan RUU No. 5 Tahun 1986 di DPR, fraksi ABRI mengusulkan agar asas-asas itu dimasukan sebagai salah satu alasan gugatan terhadap keputusan badan/pejabat tata usaha Negara. Akan tetapi usulan ini ditolak oleh pemerintah dengan alasan yang dikemukakan oleh Ismail Saleh selaku Menteri Kehakiman saat itu yang pada pokoknya menyatakan “dalam praktik ketatanegaraan kita maupun dalam Hukum Tata Usaha Negara yang berlaku di Indonesia, kita belum mempunyai kriteria tentang algemene beginselen van behoorlijk bestuur tersebut yang berasal dari negeri Belanda. Pada waktu ini kita belum memiliki tradisi administrasi yang kuat mengakar seperti halnya di negara-negara kontinental tersebut. Tradisi demikian bisa dikembangkan melalui yurisprudensi yang kemudian akan menimbulkan norma-norma. Secara umum prinsip dari Hukum Tata Usaha Negara kita selalu dikaitkan dengan aparatur pemerintahan yang bersih dan berwibawa yang konkretisasi normanya maupun pengertiannya masih sangat luas sekali dan perlu dijabarkan melalui kasus-kasus yang konkret” .
        Pada tahun 1999 sejalan dengan era reformasi melalui UU No. 28 Tahun 1999 tentang Penyelenggaraan Negara yang Bersih dan Bebas dari korupsi, Kolusi, dan Nepotisme (KKN) mulai diperkenalkan beberapa asas – asas umum dalam penyelenggaraan negara yang meliputi asas kepastian hukum, asas tertib penyelenggara negara, asas kepentingan umum, asas keterbukaan, asas proporsionalitas, asas profisionalitas dan asas akuntabilitas”
Selanjutnya pada tahun 2004 melalui Undang – undang No. 9 tahun 2004 tentang perubahan atas UU No. 5 Tahun 1986 tentang Peradilan Tata Usaha Negara disebutkan bahwa salah satu alasan yang dapat digunakan dalam gugatan adalah sebagaimana tercantum dalam ketentuan Pasal 53 ayat 2 huruf a yang menyebutkan bahwa  “Keputusan Tata Usaha Negara yang digugat itu bertentangan dengan asas-asas umum pemerintahan yang baik”. Dalam penjelasan ketentuan Pasal 53 ayat 2 huruf a  dijelaskan bahwa  “yang dimaksudkan dengan AAUPB adalah meliputi atas kepastian hukum, tertib penyelenggaraan Negara, keterbukaan, proporsionalitas, profesionalitas, dan akuntabilitas sebagaimana dimaksud dalam UU No. 28 Tahun 1999.
Selain itu dalam UU No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah, AAUPB tersebut juga dijadikan asas dalam penyelenggaraan pemerintahan daerah, sebagaimana yang tercantum dalam ketentuan Pasal 20 ayat 1 yang menyebutkan bahwa “Penyelenggaraan pemerintahan berpedoman pada Asas Umum Penyelenggaraan Negara yang terdiri atas: asas kepastian hukum, asas tertib penyelenggara negara, asas kepentingan umum, asas keterbukaan, asas proporsionalitas, asas profesionalitas asas akuntabilitas asas efisiensi, dan asas efektivitas”.

C. Fungsi Asas-Asas Umum Pemerintahan yang Baik
            Asas-asas umum pemerintahan yang baik  dalam kehidupan bernegara dan khususnya dalam penyelenggaraan urusan pemerintahan memiliki fungsi sebagai berikut:
  1. Sebagai pedoman bagi aparatur pemerintah dalam melakukan penafsiran dan penerapan terhadap ketentuan peraturan perundangan yang belum jelas, sumir atau belum lengkap.
  2. Sebagai dasar gugatan yang dapat dipakai oleh pencari keadilan untuk mengajukan gugatan agar keputusan pejabat tata usaha negara dibatalkan.
  3. Sebagai alat uji bagi Hakim PTUN untuk menilai dan membatalkan keputusan yang dikeluarkan pejabat tata usaha negara.
  4. Sebagai dasar bagi badan legislatif dalam merumuskan peraturan perundangan terkait pembatasan atas kebebasan bertindak aparatur pemerintah.
D.  Beberapa Asas-Asas Umum Pemerintahan yang Baik Dalam Peraturan Perundangan dan Praktek Peradilan di Indonesia

D.1 Asas-Asas Umum Pemerintahan yang Baik Dalam Peraturan Perundangan
            Asas – asas umum pemerintahan yang baik (aaupb) sebagai sebuah norma telah diintrodusir dalam praktek penyelenggaraan pemerintahan sebagaimana termuat dalam ketentuan Pasal 3 jo Pasal 1 angka 1  UU No. 28 tahun 1999, Pasal 53 ayat 2 UU No. 9  tahun 2004 dan Pasal 20 ayat 1 UU No. 32 tahun 2004, yaitu sebagai berikut :
           
1.   Asas Kepastian Hukum
Asas dalam negara hukum yang mengutamakan landasan peraturan perundang-undangan, kepatutan, dan keadilan dalam setiap kebijakan Penyelenggara Negara (Penjelasan Pasal 3 angka 1 UU No 28 tahun 1999).

2.  Asas Tertib Penyelenggaraan Negara
Asas yang menjadi landasan keteraturan, keserasian, dan keseimbangan dalam pengendalian penyelenggaraan negara.

3.   Asas Kepentingan Umum
Asas yang mendahulukan kesejahteraan umum dengan cara yang aspiratif, akomodatif dan selektif.

4.      Asas Keterbukaan
      Asas yang membuka diri terhadap hak masyarakat untuk memperoleh informasi yang benar, jujur, dan tidak diskriminatif tentang penyelenggaraan negara dengan tetap memperhatikan perlindungan atas hak asasi pribadi, golongan dan rahasia negara.

5.   Asas Proporsionalitas
adalah asas yang mengutamakan keseimbangan antara hak dan kewajiban Penyelenggara Negara.

6.   Asas Profesionalitas
Asas yang mengutamakan keahlian yang berlandaskan kode etik dan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku.

7.  Asas Akuntabilitas
asas yang menentukan bahwa setiap kegiatan dan hasil akhir dari kegiatan Penyelenggara Negara harus dapat dipertanggungjawabkan kepada masyarakat atau rakyat sebagai pemegang kedaulatan tertinggi negara sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku.

D. 2 Asas-Asas Umum Pemerintahan yang Baik Dalam Praktek Peradilan

AAUPB sebagai sebuah norma merujuk pendapat Prof. Philipus M. Hadjon yang menyatakan bahwa AAUPB merupakan norma pemerintahan,  hukum tidak tertulis, lahir dari praktek, baik praktek pemerintahan maupun praktek peradilan, maka selain sebagaimana tercantum dalam peraturan perundangan tersebut terdapat AAUPB lainnya yang perlu diperhatikan oleh PNS selaku aparatur pemerintahan dalam melaksanakan tugas dan kewajibannya, misalnya :

1. Asas Persamaan
Asas Persamaan menghendaki agar dalam menghadapi permasalahan atau fakta yang sama, badan atau pejabat tata usaha negara mengambil tindakan atau keputusan yang sama. Sesuai dengan asas ini prinsipnya adalah terhadap hal – hal atau keadaan yang sama harus diperlakukan secara sama ( Putusan PTUN Medan No.86/F/1992/PTUN-Mdn tanggal 7 Agustus 1992 yang membatalkan Surat Perintah Walikota tentang pengosongan toko onderdel karena bertentangan dengan asas persamaan sebab pada jalan dimana lokasi took berada terdapat 9 toko lainnya).

2. Asas Kecermatan
Asas Kecermatan menghendaki agar badan / pejabat tata usaha negara senantiasa bertindak secara hati-hati agar tidak menimbulkan kerugian bagi warga masyarakat dengan cara mempelajari dan meneliti semua fakta yang relevan dari pihak yang akan terkena keputusan atau dari pihak ketiga yang kepentingannya terkait (Putusan PTUN Jakarta No. 197/G/1992/IJ/PTUN-Jkt yang membatalkan Keputusan Bupati tentang Penunjukkan Ketua Primkopad Kodim sebagai pengelola sarang burung walet karena melanggar asas kecermatan yaitu tanpa terebih dahulu mencari fakta terkait pengelola sarang burung walet yang ada sebelumnya).

3. Asas Larangan Sewenang – Wenang (willkeur)
Asas ini menghendaki bahwa meskipun tindakan telah dilakukan sesuai dengan ketentuan peraturan perundangan namun demikian tetap harus memperhatikan kepentingan pihak terkait untuk mengetahui keputusan apa yang akan diberikan kepadanya sehingga tindakan tersebut tidak sampai pada tindakan sewenang – wenang (Putusan PTUN Palembang No.16/PTUN/G/PLG/1991 tanggal 25 Februari 1992 yang membatalkan keputusan mutasi dari Rektor Universitas Bengkulu karena telah memutasikan seoarang PNS tanpa dibuktikan kesalahannya terlebih dahulu).

4. Asas Kepercayaan dan Pengharapan
Asas ini menghendaki bahwa setiap tindakan badan / atau pejabat tata usaha negara haruslah menimbulkan kepercayaan dan pengharapan bagi mereka yang dikenai tindakan tersebut (Putusan PTUN Palembang No.44/G/PTUN/PLG/1993 tanggal 1 Desember 1993 yang membatalkan surat penolakan Tergugat untuk membayar tunjangan seoarang janda bekas suaminya yang bekerja pada Tergugat).

5. Asas Larangan Menyalahgunakan Wewenang (d’etournamen de pouvair)
Asas ini menghendaki bahwa setiap wewenang badan atau pejabat tata usaha negara yang diberikan oleh peraturan perundangan harus dipergunakan sesuai maksud dan tujuan diberikannya wewenang itu, sehingga wewenang itu tidak boleh dipergunakan untuk kepentingan pribadi (Putusan Mahkamah Agung RI No. 11 K/TUN/1992 tanggal 3 Februari 1994 yang membatalkan Surat Perintah Bongkar Walikota Jakarta Barat atas bangunan milik Penggugat yang sudah memiliki IMB).

Demikian sekilas uraian mengenai asas-asas umum pemerintahan yang baik dalam praktek pemerintahan sebagaimana telah termuat dalam beberapa ketentuan peraturan perundangan dan juga yang telah diterapkan dalam praktek peradilan sebagai salah satu norma yang harus dipatuhi oleh  para penyelenggara negara khususnya aparatur pemerintah yang dalam hal ini termasuk di dalamnya adalah pegawai negeri sipil sebagai salah satu unsur pemerintahan dalam mewujudkan apa yang menjadi tujuan bersama sebagaimana termuat dalam bagian konsideran UU No. 43 Tahun 1999 tentang Perubahan atas UU No. 8 tahun 1974 tentang Pokok – Pokok Kepegawaian.


DAFTAR PUSTAKA


-  Prof.Dr. Philipus M. Hadjon, S.H, Asas – asas Umum Pemerintahan Yang Baik Dalam Kaitannya Dengan Alasan Gugatan Pada Peradilan Tata Usaha Negara, LPP-HAN, Hotel Bumi Karsa Bidakara, 20 April 2004.   
- SF. Marbun, Peradilan Administrasi dan Upaya Administrasi di Indonesia, UII Press, Yogyakarta,2003,
- SF Marbun, Menggali dan Menemukan Asas – Asas Umum Pemerintahan Yang Baik Di Indonesia, Makalah pada Dimensi – Dimensi Pemikiran Hukum Administrasi Negara, UII Press, Yogyakarta, 2001. 
-  Ridwan HR, Hukum Administrasi Negara, Rajawali Pers, 2008.


* Materi disampaikan dalam rangka “ Bimbingan Teknis Pembinaan Aparatur dan Penyelesaian Kasus Pelanggaran Disiplin PNS”  yang diselenggarakan oleh Universitas Sriwijaya, 2011.

Sunday, October 16, 2011

Kesejahteraan, Harkat, Martabat dan Wibawa Hakim*

Oleh A.Agus Bahauddin
 ( Hakim Tinggi, Pengadilan Tinggi Agama Jambi).


         Peradilan merupakan lembaga yang memiliki kekuasaan luas dan tiang pokok bangunan negara. Sebagai lembaga yang berwenang mengadili, peradilan melaksanakan fungsi yudikatifnya menegakkan hukum, keadilan dan kebenaran. Fungsi yudikatif lembaga peradilan ini melaksanakan juga fungsi eksekutif, menjaga dan menegakkan hukum, serta melaksanakan fungsi legislatif, penemuan dan pembentukan hukum.
      Lembaga peradilan haruslah didukung personil-personil pilihan yang handal, memiliki tingkat profesionalitas tinggi, keimanan yang dalam, kematangan intelektual, serta integritas moral. Dipandang dari sudut psikologis, filosofis dan religi, hakim adalah jabatan utama dan mulia dalam lembaga peradilan. Tidaklah tepat kalau jabatan ini diserahkan kepada orang-orang yang lemah profesionalismenya, wawasan keilmuan dan moralnya. Jabatan hakim di manapun di dunia ini selalu dipatok persyaratan maksimum seperti layaknya persyaratan para Nabi. 
          Demikianlah seharusnya bagi para hakim untuk mengimplementasikan sifat-sifat Nabi, yaitu siddiq, amanah, tabligh, dan fatanah dalam melaksanakan tugas dan fungsinya sebagai hakim seperti layaknya wakil Tuhan yang berwenang menerima, memeriksa, memutus dan menyelesaikan suatu perkara yang diajukan kepadanya. Sifat-sifat tersebut juga harus mempengaruhi perilaku hakim di luar kedinasan. Perilaku terjadi karena adanya interaksi antara hakim yang memiliki latar belakang, sifat, karakter dan kepribadian berbeda dengan institusi formal lembaga peradilan.  Perilaku yang sesuai dengan aturan dan tuntutan institusi merupakan perilaku positif, sebaliknya adalah perilaku negatif. 
          Tugas pokok dan fungsi hakim seperti tersebut di atas, dalam ilmu manajemen proses disebut problem solving dan decision making. Ada dua etika dalam  memangku jabatan Hakim, seyogyanya kepribadian, watak atau karakternya dapat dibentuk oleh karakter jabatan hakim tersebut. “ The old judge is never die “ karena hakim tidak sekedar soal jabatan atau pekerjaan saja, tetapi telah mengkristal menjadi kepribadian dan perilaku yang akan mewarnai kehidupannya sampai akhir hayat, dan diteruskan generasi berikutnya.
Hakim juga dituntut melaksanakan prinsip pokok kehakiman. Ada dua prinsip pokok dalam sistem peradilan : 1. The principle of judicial independence, harus diwujudkan dalam sikap para hakim dalam memeriksa dan memutus perkara yang dihadapinya. 2. The principle of judicial impartiality, adalah prinsip ketidakberpihakan. (Jimly Asshiddiqie, 2010 : 316). Kedua prinsip ini diakui sebagai prasyarat pokok sistem peradilan di semua negara yang disebut hukum modern atau modern constitutional state.

Friday, February 11, 2011

PENGADILAN PAJAK

 PENGADILAN PAJAK DALAM SISTEM PERADILAN 
DI INDONESIA*

oleh :
 JOKO A. SUGIANTO,SH


I. PENDAHULUAN
1.  Latar Belakang Masalah
      Amandemen ke – tiga UUD 1945 Pasal 24 ayat (2) menegaskan bahwa kekuasaan kehakiman di  Indonesia dilakukan oleh sebuah Mahkamah Agung dan badan peradilan dibawahnya dalam lingkungan peradilan umum, lingkungan peradilan agama, lingkungan peradilan militer, lingkungan peradilan tata usaha negara dan oleh sebuah Mahkamah Konstitusi.[1]
      Merujuk pada ketentuan tersebut lembaga-lembaga mana yang berwenang melakukan kekuasaan kehakiman telah disebutkan secara terbatas (limitatif). Dengan kata lain tidak ada yang namanya lembaga peradilan selain apa yang telah disebutkan secara tegas (expressive verbis) dalam konstitusi. Meskipun ada pengadilan selain sebagaimana yang ditentukan oleh konstitusi maka pengadilan tersebut haruslah berada dalam salah satu lingkungan peradilan di bawah Mahkamah Agung yaitu, misalnya lingkungan peradilan umum, peradilan agama, peradilan militer atau peradilan tata usaha negara.[2]
      Terbongkarnya penyelewengan oleh pegawai pajak terkait keberatan dan banding dari wajib pajak, misalnya yang dilakukan oleh Gayus H. Tambunan sebagai Penelaah Keberatan pada Seksi Bidang Keberatan dan Banding di Kantor Wilayah Direktorat Pajak[3], potensi kerugian negara akibat seringnya sengketa pajak dimenangkan oleh wajib pajak di mana dari 16.953 berkas gugatan yang secara formal diterima periode 2002 -2009 sebanyak 13.672 berkas gugatan (kurang lebih 81 persen) dikabulkan oleh pengadilan pajak dan lemahnya sistem pengawasan  pengadilan pajak[4], telah menyadarkan berbagai pihak mengenai pentingnya dilakukan reformasi pengadilan pajak.

Saturday, January 15, 2011

 Mengurai Benang Kusut Reformasi Peradilan*
 Hakim: PNS atau Pejabat Negara ?
 
Tribunnews.com/Bian Harnansa
                                                                                                 


Berita terkait:





Membaca tulisan jurnalis Tribunnews.com terkait profil hakim dengan judul Hakim Albertina Ho Mantan Pelayan Warung Kopi dan Haswandi Si Hakim Penunggang Motor Butut, upaya yang patut diapresiasi dari sedikit jurnalis yang masih punya idealisme untuk menyampaikan berita yang sebenarnya dari realitas yang selama ini tertutupi oleh berita-berita yang cenderung mengeksploitasi asap pekat gerbong peradilan tanpa berupaya mengungkap asal muasalnya.
            Tulisan tersebut sedikit banyak telah mengungkap gambaran bagaimana yang sebenarnya  mengenai profesi hakim dari segi kesejahteraannya (gaji dan fasilitas), hal mana kontras dengan yang selama ini menjadi anggapan sebagian besar masyarakat mengenai profesi hakim yang sudah terlanjur dianggap sebagai jabatan yang identik dengan “kemuliaan” (kekayaan materi dan fasilitas).
            Berdasarkan realitas kontradiktif profesi hakim antara yang sebenarnya dan yang dianggap benar merujuk pada berita tersebut, menjadi menarik untuk mempertanyakan bagaimana sebenarnya kedudukan hakim dalam sistem ketatanegaraan menurut konstitusi dan peraturan perundang-undangan yang berlaku, dan lebih penting lagi bagaimana Pemerintah dan DPR atas nama negara mengejahwantahkan amanat undang-undang tersebut dalam mendudukkan dan memperlakukan hakim – hakimnya.
            Pertanyaan ini relevan dikemukakan terkait dengan tidak jelasnya kedudukan hakim apakah sebagai pejabat negara atau PNS, kalau pejabat negara mengapa tunjangan dan fasilitas tidak menecerminkan layaknya seorang pejabat negara sedangkan jika kedudukannya sebagai PNS mengapa gaji pokok hakim tidak ikut disesuaikan tiap kali ada kenaikan gaji pokok PNS.
Terkait pertanyaan tersebut, mantan Ketua KPK Taufiequrrahman Ruki pernah menyampaikan bahwa reformasi aparatur peradilan bisa dilakukan dengan dua cara pertama, pemuliaan hakim yaitu jadikan hakim sebagai the honourable, yang dimuliakan dengan memberi gaji, upah, tunjangan dan fasilitas terbaik bagi hakim, kedua pemberdayaan peradilan.
Untuk itu perlu kiranya dilihat kembali dalam peraturan perundang-undangan yang berlaku apakah hakim telah didudukkan dan diperlakukan secara proporsional sesuai dengan fungsinya sebagai pelaksana institusi dasar negara dalam urusan peradilan yaitu melayani kepentingan para pencari keadilan (justitiabelen).