Monday, June 18, 2012

Independen, Bukan Genit atau Liar


Saturday, 16 June 2012
Pada awal April 2008, tak lama setelah saya bersumpah sebagai hakim konstitusi, para wartawan bertanya,“ Apakah Anda bisa menegakkan independensi sebagai hakim?”

Saya menjawab, ”Saya baru saja mengucapkan sumpah untuk melaksanakan UUD dan peraturan perundang- undangan, artinya saya harus menjadi hakim yang selalu ‘berusaha’ untuk jujur dan independen.” “Apakah Anda berani menjatuhkan vonis mengalahkan Presiden atau DPR dalam menangani perkara di MK,”tanya wartawan lagi.“Saya takkan takut atau rikuh kepada Presiden atau DPR, saya takkan bisa ditekan oleh partai politik; tetapi sekaligus saya tak bisa ditekan oleh LSM atau digiring oleh insinuasi opini publik dan pers. Saya akan tegakkan independensi lembaga peradilan,” jawab saya.

 Jawaban itu saya berikan karena keyakinan bahwa independensi hakim adalah sangat prinsip di dalam negara hukum seperti Indonesia. Penegakan dan penjagaan independensi hakim ini sangat penting karena di mana pun di negara yang menganut supremasi hukum, ada beberapa prinsip yang harus ditegakkan secara sungguh- sungguh, yaitu antara lain adanya peradilan yang bebas dan tidak memihak. 

Dua prinsip negara hukum lainnya yang sangat umum dikenal adalah adanya jaminan perlindungan hak-hak asasi manusia (HAM) dan adanya legalitas hukum dalam segala bentuknya. Dengan demikian tidak ada negara yang bisa disebut sebagai negara hukum jika di dalamnya tidak ada kemerdekaan atau kebebasan lembaga peradilan. Di dalam Pasal 24 ayat(1) UUD 1945 kemerdekaan lembaga peradilan tersebut justru ditekankan pada kemerdekaan “kekuasaan kehakiman”. 

Dalam praktiknya kekuasaan kehakiman yang bebas,merdeka, dan tidak memihak itu terletak pada kebebasan dan independensi para hakim,sebab roh lembaga itu memang hanya bisa muncul pada atau dimunculkan oleh orang-orang yang menjadi hakim.Sudah pasti institusi penegak hukum yang lain seperti kepolisian,kejaksaan,dan advokat/ pengacara harus juga independen dan profesional. 

Sejak menyatakan merdeka dan menetapkan konstitusi negara dan bangsa,kita sudah menyatakan dengan tegas, Indonesia adalah negara hukum.Hal itu terlihat dari ketentuan Pasal 24 dan Penjelasan UUD yang disahkan pada tanggal 18 Agustus 1945. Tapi karena dalam praktiknya independensi para hakim selalu diganggu oleh politik dan sindikat perkara,maka pada awal Reformasi (1998) kita segera mereformasi kekuasaan kehakiman melalui perubahan UU No 14 Tahun 1970 dengan UU No 35 Tahun 1999. 

 Salah satu hal yang sangat penting dalam perubahan UU tersebut ialah ditariknya wewenang administratif dan finansial hakim dari pemerintah untuk selanjutnya diserahkan ke Mahkamah Agung dalam apa kita kenal sebagai “penyatuatapan” kekuasaan kehakiman. 

Pada tingkat konstitusi,kita memasukkan prinsip negara hukum bukan lagi di dalam penjelasan, melainkan dimasukkan ke dalam Pasal 1 ayat (3) UUD serta mengamendemen Pasal 24 UUD sehingga memuat penegasan tentang kemerdekaan kekuasaan kehakiman untuk menegakkan hukum dan keadilan, membentuk Mahkamah Konstitusi, dan membentuk Komisi Yudisial untuk menjaga dan menegakkan kehormatan,keluhuran martabat, serta perilaku hakim. 

Langkah-langkah reformasi dalam bidang peradilan,khususnya dalam bidang kekuasaan kehakiman,itu tidak lain dimaksudkan agar semua hakim bisa melaksanakan tugasnya secara independen dan tidak takut terhadap tekanan dari kekuasaan lain di luar dirinya. Secara umum memang dipahami bahwa semua hakim itu harus independen dan merdeka dari kekuasaan lembaga eksekutif yang biasanya punya energi kekuasaan yang sangat besar. 

Tapi secara substansial sebenarnya kemerdekaan atau independensi yang dimaksud adalah kemerdekaan atau independen dari kekuatan apa pun di luar diri hakim, termasuk independen dari insinuasi opini pers atau tekanan LSM. Hakim yang independen adalah hakim yang berani mengadili dan memutus berdasar hukum dan keadilan.Hakim harus berani mengalahkan atau menyatakan pemerintah atau pejabatnya bersalah sekaligus harus berani menyatakan pemerintah atau pejabatnya benar secara hukum.

 Bersamaan dengan itu,hakim juga harus berani tidak populer untuk melawan opini publik dan segala insinuasinya, termasuk harus tegak menghadapi tekanan LSM sekaliber apa pun. Hakim tidak boleh terjebak oleh insinuasi opini publik dan pers maupun tekanan dari LSM yang menggunakan kekuatan massa sekali pun.Kalau hakim hanya selalu terbawa opini publik dan pers serta ikut permainan LSM, maka independensi yang seperti itu adalah independensi yang genit,yang hanya ingin menyenangkan orang dan mencari nyaman serta citra untuk dirinya sendiri. 

Hakim tidak dilarang membangun citra diri, tetapi citra yang dibangun haruslah citra bahwa dirinya memang layak menjadi hakim dan bukan citra genit yang hanya ingin menyenangkan orang agar dirinya aman dan mendapat pujian dari pers dan LSM. Selain tidak boleh menjadikan independensi sebagai kegenitan, semua hakim juga tidak boleh menjadikan independensi sebagai kebebasan yang liar. 

Dalam banyak kasus, kebebasan yang diberikan kepada hakim belakangan ini ada yang digunakan sebagai kebebasan liar,yakni kebebasan untuk melakukan apa pun,termasuk kebasan berkolusi dan menjualbelikan perkara melalui penyuapan dan bentuk-bentuk korupsi lainnya. Independensi genit dan liar ini telah bisa menjadi bencana dahsyat bagi dunia hukum di Indonesia.

MOH MAHFUD MD Guru Besar Hukum Konstitusi

 http://www.seputar-indonesia.com/edisicetak/content/view/503802/

Monday, June 4, 2012

Problematika Jabatan Hakim di Indonesia


 Oleh : Sayuruddin Daulay, S.H., M.H.

"Berbagai pengalaman atau kenyataan secara ajek menunjukkan, setiap orang yang memegang kekuasaan cenderung menyalahgunakan kekuasaannya dan menjalankan kekuasaan itu tanpa batas (Montesquie)." Menurut teori pemisahan kekuasaan (separation of power) dari Montesquie, ditetapkan bahwa Lembaga Negara terdiri dari 3 (tiga) kekuasaan yaitu kekuasaan legislatif, eksekutif dan yudikatif. Ketiga kelompok kekuasaan ini memiliki fungsi yang sederajat dan saling mengimbangi (checks and balances).

Jika teori Montesquie ini diasumsikan untuk menganalisis lembaga-lembaga negara di Indonesia tampak bahwa tidak terwujud fungsi-fungsi Iembaga tersebut secara seimbang, bahkan mengutip pendapat Prof. King yang mengatakan ada 3 tipe konstitusi yaitu 1. Power sharing contitutions (membagi kekuasaan di antara lembaga-lembaga dengan pola koordinasi), 2. Power coording constitutions (mengonsentrasikan kekuasaan pada pusat kekuasaan yang kuat), 3. Power fractionatet constitutions (membagi-bagi kekuasaan tapi sangat sedikit pengaturan untuk memecahkan konflik antar kekuasaan), maka Indonesia menurut Prof. Philipus M. Hadjon dalam H.M. Laica Marzuki dalam bukunya: "Dari Timur ke Barat Memandu Hukum" (2008:410) menyatakan masih tidak jelas kategori mana tipe konstitusi negara Republik Indonesia.

Demikian juga dilihat dari sistem pemerintahan yang ditegaskan dalam Undang-Undang Dasar 1945, adalah Negara Indonesia berdasarkan atas hukum (rechtsstaat) tidak berdasarkan kekuasaan belaka (Machtsstaat), oleh karena itu mestinya hukum dijadikan sebagai panglima dalam melaksanakan kekuasaan negara artinya penegakan hukum (law enforcement) harus diberdayakan secara optimal dan Mahkamah Agung sebagai pelaku kekuasaan kehakiman di samping Mahkamah Konstitusi harus diposisikan seimbang dengan lembaga kekuasaan negara lainnya seperti eksekutif dan legislatif, akan tetapi yang tampak kepermukaan adalah kekuasaan yudikatif yakni Mahkamah Agung sebagai pelaku kekuasaan kehakiman ditempatkan dalam posisi abu-abu, artinya kedudukan Pejabat Mahkamah Agung sebagai Hakim Agung dan jabatan hakim pada peradilan di bawahnya tidak jelas diposisikan apakah sebagai pejabat negara atau tidak.

Problematika Jabatan Hakim

Dalam Pasal 19 Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 dinyatakan bahwa jabatan hakim adalah pejabat negara dan sistem penggajian diatur terpisah dari peraturan penggajian pegawai negeri sipil, akan tetapi secara substansial perlakuan terhadap jabatan hakim tidak sebagai pejabat negara tetapi pegawai negeri biasa, bahkan jauh di bawah pejabat di lingkungan lembaga eksekutif dan legislatif.

Jabatan hakim sengaja ditelantarkan agar tidak berdaya dalam penegakan hukum terhadap pelanggaran hukum yang dilakukan oleh para pejabat eksekutif dan legislatif, hal ini sudah pemandangan umum sehari-hari di mata publik, ketika seorang pejabat negara yang melanggar hukum tidak setimpal dengan vonis yang dijatuhkan hakim, sebaliknya jika rakyat biasa yang melakukan pelanggaran hukum, maka hukum yang ditegakkan sangat garang dan memberatkan, lihat saja vonis yang dijatuhkan kepada pejabat negara yang melakukan tindak pidana korupsi seperti Nazaruddin. Sebaliknya rasa keadilan sangat terganggu atas pemidanaan seorang tua miskin yang kedapatan mencuri buah coklat, dan betapa luas reaksi publik atas kasus Prita, meskipun sebenarnya tindakan pidana baik yang dilakukan pejabat negara atau rakyat biasa adalah tindakan pelanggaran hukum/kejahatan, tetapi yang dipersoalkan adalah substansi penegakan hukum terhadap dua pelaku kejahatan itu tidak mencerminkan nilai-nilai keadilan, bahkan mencederai rasa keadilan masyarakat.

Hal yang demikian itu semakin jelas bagi publik terhadap penerapan standard ganda dalam penegakan hukum di Indonesia, padahal sesungguhnya tidak semua penegakan hukum yang demikian itu tercermin dari perilaku para penegak hukum (Hakim) belaka, tetapi adalah potret ketidak berdayaan Hakim terhadap kekuasaan eksekutif dan legislatif. Dan memang hal itu sudah dikondisikan terhadap jabatan hakim di negeri ini, oleh karena itu ada benarnya ungkapan Montesquie di atas bahwa pemegang kekuasaan cenderung menyalahgunakan kekuasaan dan menjalankan kekuasaan tanpa batas.

Mereka bukan tidak tahu dan sadar bahwa sebenarnya hakim itu adalah pejabat negara yang sederajat dengan mereka sehingga dapat berperan mengontrol pelaksanaan kekuasaan, tetapi sengaja dilemahkan supaya tidak berdaya, selanjutnya issu secara terus-menerus dikembangkan dan dipublikasikan di media massa bahwa keterpurukan penegakan hukum di negeri ini adalah akibat dari mafia peradilan yang dilakukan pejabat peradilan, maka publik yang mengkonsumsi isu tersebut dengan sendirinya memaki, sumpah serapah kepada para hakim dikarenakan lunturnya kepercayaan kepada penegakan hukum di lembaga peradilan.

Sementara itu pejabat kekuasan eksekutif dan legislatif cuci tangan dan bersolek cantik menutupi kebiadaban mereka terhadap jabatan hakim tersebut. Mereka sepertinya tidak peduli bahwa pelemahan terhadap kekuasaan yudikatif adalah menghancurkan dan menodai sistem ketatanegaraan Indonesia yang berdasarkan hukum sebagaimana amanat Undang-Undang Dasar Negara Indonesia Tahun 1945 serta perubahannya yang sudah empat kali perubahan. Pada hal jika kekuasaan negara dipahami sebagai sebuah sistem, maka kasus-kasus yang dilimpahkan ke pengadilan adalah imbas dari keterpurukan pelayanan hukum di tingkat kekuasaan eksekutif dan atau legislatif, contoh pelayanan pajak, imigrasi, BUMN dan lain-lain yang mengindikasikan penyalahgunaan kekuasaan untuk memperoleh keuntungan pribadi. Dalam hal ini berlaku ungkapan "kalau dapat dipersulit mengapa dipermudah", rakyat tidak berdaya terpaksa tunduk kepada kekuasaan yang menyiapkan perangkap menyalahgunakan kekuasaan. Semua yang di sebutkan di atas merupakan kejahatan proses hukum (kejahatan di tingkat eksekutif dan atau legislatif) yang melimpah ke hilir (pengadilan). Akan tetapi celakanya yang mendapat celaan, sumpah serapah dan hujatan tertuju kepada hakim. Sedangkan persoalan besar di hulu (eksekutif dan legislatif) sebagai center problem (permasalahan pokok) kurang mendapat perhatian publik.

Gerakan Perubahan dari Para Hakim

Di lingkungan pejabat Mahkamah Agung dan pejabat peradilan di bawahnya sebenarnya upaya pelemahan lembaga yudikatif bukan tidak diketahui, bahkan dari segi anggaran Mahkamah Agung dari tahun ke tahun tidak pernah disetujui usulan Mahkamah Agung sesuai yang dibutuhkan di Mahkamah Agung. Dari hal ini saja sesungguhnya dapat dimaklumi ke arah pelemahan itu, tetapi pejabat Mahkamah Agung menyikapinya dengan bijaksana, sadar bahwa jabatan yang diemban sangat mulia sebagai "wakil Tuhan" untuk menegakkan keadilan di bumi pertiwi ini. Akan tetapi meskipun disikapi dengan bijaksana, ternyata tidak dapat menyadarkan kedua bentuk kekuasaan itu supaya menempatkan kekuasaan yudikatif pada porsi kewenangannya, Mahkamah Agung terus ditempatkan tidak selayaknya sebagai salah satu lembaga kekuasaan negara, lembaga peradilan terus-menerus dipasung sebagai subordinasi eksekutif dan legislatif, jabatan hakim ditelantarkan baik dari aspek fasilitas penegakan hukum mapun kesejahteraan hakimnya jauh di bawah standard pejabat eksekutif dan legislatif.

Hal inilah yang membangunkan kesadaran para hakim, jika hal ini terus berkelanjutan, maka hakim yang disebut "Yang Mulia" akan terus menanggung dosa kemunafikan Pejabat kekuasaan eksekutif dan atau legislatif yang menari-nari di atas caci-makian, sumpah serapah publik terhadap para hakim, maka belakangan ini digelorakan dari arus bawah - yang secara langsung mengalami cacian dan sumpah serapah publik - tentang tuntutan kenaikan gaji hakim untuk memberdayakan para hakim supaya dapat menegakan hukum kepada seluruh lapisan bangsa Indonesia, sehingga dapat diwujudkan secara konsekwen perlakuan yang sama di hadapan hukum (equality before the law).

Kesadaran para hakim ini, tampaknya dapat dipahami oleh berbagai kalangan publik, seperti para pemerhati hukum, pelaku ekonomi, para akademisi dan beberapa oknum anggota legislatif dengan memberikan dukungan positif, sedangkan tanggapan negatif dari sebagian masyarakat awam dapat dipahami akibat kekurangpahaman mereka terhadap sandiwara tingkat tinggi dari pemegang kekuasaan tersebut.

Persoalannya sekarang adalah bagaimana respon mereka terhadap tuntutan para hakim ini, apakah mereka terus memerankan panggung sandiwara ini dengan dalih yang tidak populer seperti tidak disetujui kenaikan harga BBM, subsidi yang begitu besar, sedangkan di pihak lain mereka mengabaikan kritik terhadap penggunaan anggaran yang berlebihan di lembaga eksekutif dan legislatif.

Kesimpulan

 Problematika di atas jika ditinjau dari perspektif negara hukum, maka tidak ada pilihan bagi pejabat kekuasaan eksekutif dan legislatif harus dengan legowo mengembalikan jati diri bangsa ini kepada negara hukum sebagaimana amanat UUD 1945 yang telah mengalami empat kali perubahan itu, dengan cara menempatkan kekuasaan yudikatif sederajat dan seimbang dengan kekuasaan eksekutif dan legislatif, tentunya antara lain tidak mentelantarkan jabatan hakim sebagai pejabat negara, selanjutnya harus mensejajarkan jabatan hakim dengan jabatan lembaga eksekutif dan legislatif. ***

 Penulis adalah praktisi hukum, sumber : http://www.analisadaily.com/news/read/2012/06/05/54349/problematika_jabatan_hakim_di_indonesia/#.T8zceVJacdM

Tuesday, May 1, 2012

Hakim Indonesia Menggugat

Ancaman hakim-hakim di daerah untuk mogok sidang setelah gaji yang tak naik selama empat tahun, dan tunjangan yang tak ditinjau selama sebelas tahun, makin menguat. Berbagai media massa dalam beberapa minggu terakhir secara terus menerus memuat pemberitaan mengenai tuntutan hakim dan kisah-kisah miris kehidupan para hakim akibat minimnya gaji dan tunjangan. Sekelompok hakim dari berbagai di daerah datang ke Jakarta untuk melakukan beberapa audiensi dengan para pemangku kepentingan: Mahkamah Agung, Komisi Yudisial, Komisi 3 DPR dan bahkan Presiden.
MA sejauh ini tidak menyatakan mendukung gerakan para hakimnya untuk mogok sidang karena posisi MA yang menuntut dirinya tetap bersikap santun dan formal dalam percaturan ketatanegaraan. Namun boleh dikatakan gerakan hakim ini berguna untuk menyuarakan gagasan-gagasan yang diam-diam didukung oleh MA namun tidak dapat diungkapkan secara resmi.
Gerakan mogok hakim pernah terjadi di Indonesia pada masa-masa awal kemerdekaan di tahun 1956. Pemogokan dipicu oleh naiknya gaji jaksa sehingga setara dengan gaji hakim, yang merupakan cerminan bahwa status hakim dan jaksa dinyatakan setara. Pada masa itu, kesejahteraan hakim juga merupakan masalah mendasar, namun tuntutan kenaikan gaji lebih merupakan perjuangan menempatkan posisi politis hakim lebih tinggi dari jaksa yang ditunjukkan dengan gaji yang lebih tinggi (Pompe, 2005).
Gerakan mogok pada tahun 1950an ini mendapat dukungan penuh dari organisasi profesi hakim yaitu Ikahi (Ikatan Hakim Indonesia), meskipun tidak mendapat dukungan resmi dari MA. Daniel S Lev dan Sebastiaan Pompe dalam tulisannya menjelaskan bahwa Ikahi pada masa itu merupakan kendaraan yang efektif untuk memperjuangkan hak-hak Hakim. Ikahi bahkan berani berdiri berseberangan dengan MA dan Pemerintah yang dianggap sebagai bagian dari birokrasi Negara. Pada tahun 1956 pengadilan benar-benar berhenti bekerja selama satu hari ketika para hakim merealisasikan ancaman mogok sidang. Meskipun gerakan mogok hakim ini gagal karena tepat keesokan harinya parlemen dinyatakan bubar/membubarkan diri). Namun gerakan pada tahun 1956 ini merupakan upaya terbuka hakim yang monumental dalam memperjuangkan, bukan hanya gaji, tetapi juga status dan kedudukan pengadilan.
Masalah status dan kedudukan, sejak awal kemerdekaan dan masa orde baru serta kini di masa reformasi, selalu menjadi masalah utama pengadilan. Minimnya kesejahteraan hakim merupakan indikasi utama marginalisasi Negara terhadap sayap kekuasaan yudikatif. Pengadilan selalu dituntut oleh publik untuk memberikan keadilan dan menegakkan pilar hukum, namun ditekan habis-habisan oleh Negara dalam berbagai aspek. Mulai dari minimnya kesejahteraan hakim, tiadanya jaminan keselamatan dan keamanan, hingga intervensi terbuka atas independensi dalam berbagai forum politik dan ketatanegaraan. Bukan hal baru jika kita sering melihat pernyataan-pernyataan negatif pejabat negara terhadap pengadilan maupun hakim, yang mana hal tersebut sangat jarang dilakukan di negara-negara beradab lainnya. Jika pengadilan yang kita temukan saat ini berada dalam kondisi bobrok dan akut, maka ini adalah hasil dan dampak dari proses pelemahan yang berlangsung puluhan tahun lamanya.
Perjuangan menyuarakan penghargaan terhadap status hakim terus berlangsung hingga kini. Jika dulu Ikahi selalu berdiri di belakang para hakim, dan tuntutannya dipertimbangkan oleh Departemen Kehakiman dan MA di hadapan Pemerintah dan Parlemen, di masa kini siapa yang mendukung gerakan hakim ini?
Pasca penyatuan atap di tahun 1999 yang efektif berlaku di tahun 2004, segala urusan admistratif pengadilan dialihkan dari tangan eksekutif  yaitu Departemen Kehakiman (kini Departemen Hukum dan HAM), dan dikelola sendiri oleh MA. Namun penyatuan atap membawa masalah yang tidak terlalu disadari di awal pelaksanaannya. Di masa lalu segala urusan administratif pengadilan dikelola oleh Departemen Kehakiman. Setidaknya di sayap eksekutif terdapat instansi yang memahami kepentingan pengadilan serta melakukan lobi yang diperlukan baik kepada Pemerintah sendiri maupun kepada lembaga legislatif.
Pemegang kekuasaan yudikatif dalam hal ini MA sejatinya memang harus dijauhkan dari peran-peran politis termasuk untuk melakukan lobi kebijakan dan anggaran. Namun setelah penyatuan atap MA dituntut untuk dapat melakukan sendiri lobi politik kebijakan dan anggaran. Lobi politik yang dilakukan langsung oleh lembaga yudikatif akan membuka lebar-lebar pintu intervensi eksekutif dan legislatif terhadap yudikatif. Komisi Yudisial yang dibentuk untuk menegakkan keluhuran martabat hakim baru akhir-akhir ini saja berupaya menyuarakan masalah status setelah sekian tahun lebih banyak menggempur soal integritas hakim tanpa benar-benar memahami akar masalah runyamnya integritas.
Ikahi yang pada masa lalu menjadi kendaraan politik hakim untuk menyuarakan urusan yang tidak dapat disuarakan oleh MA, kini juga telah kehilangan bentuknya. Di masa lalu pimpinan Ikahi selalu dipegang oleh hakim-hakim pengadilan banding dan pengadilan pertama, sehingga Ikahi menjadi alat perjuangan hakim tingkat bawah kepada MA. Sedangkan pimpinan Ikahi masa kini mayoritas adalah Hakim Agung, sehingga posisi Ikahi hampir tidak dapat lagi dibedakan dengan MA. Dinamika dan perdebatan dalam hubungan Ikahi – MA yang diperlukan dalam sebuah konstalasi saling mengisi untuk memperjuangkan kepentingan Hakim dan Pengadilan, tidak lagi berjalan.
Praktis saat ini tidak ada wadah yang dapat digunakan untuk menyuarakan kepentingan para Hakim. Perjuangan mengangkat status hakim tampaknya semakin berat di saat sentimen publik terhadap pengadilan semakin memburuk dan ketiadaan instansi yang menyuarakan kepentingan hakim dan pengadilan secara tepat sekaligus mampu melalukan lobi politik yang diperlukan kepada para pengambil kebijakan. Reformasi organisasi MA pasca penyatuan atap perlu dilakukan untuk memastikan Sekretariat MA mampu menjadi perpanjangan tangan fungsi eksekutif untuk mengurus segala dukungan administratif pengadilan termasuk kesejahteraan hakim. Namun saat ini tampaknya hampir tidak ada pilihan lain bagi para hakim kecuali berjuang sendiri menggugat marginalisasi yang dilakukan Negara.
Dian Rosita
Direktur Eksekutif Lembaga Kajian & Advokasi untuk Independensi Peradilan (LeIP)

Wednesday, April 11, 2012

PENDAPAT PARA TOKOH TENTANG KESEJAHTERAAN HAKIM


1.Drs. H. Priyo Budi Santoso, Wakil Ketua DPR RI
"Setuju! Naikkan itu gaji hakim. Saya orang yang pertama mengusulkan untuk tidak ragu menaikkan gaji hakim," kata Priyo menjawab pertanyaan wartawan di kompleks DPR, Jalan Gatot Subroto, Jakarta, Kamis (5/4/2012).
DPR mengaku serius memperhatikan kesejahteraan hakim. Pihaknya meminta kementerian terkait membahas masalah tersebut. "DPR akan memperhatikan penuh untuk menaikkan gaji hakim. Menkum HAM memang harus memperhatikan kesejahteraan hakim," papar politikus Partai Golkar ini.
Selain meminta kementerian terkait, DPR juga mempunyai perhatian serius atas masalah kesejahteraan hakim. "DPR akan membahas dan mendorong peningkatan kesejahteraan hakim," papar Priyo.
Melihat berbagai fakta yang terungkap, Priyo hanya bisa geleng-gelang kepala. Saat ditanya wartawan, dia langsung spontan menjawab tanpa pikir panjang ketika disinggung kesejahteraan hakim. "Angkanya mencengangkan kita, mestinya Menkum HAM memperhatikan itu. Angkanya memprihatinkan," papar Priyo
Sumber : http://news.detik.com/read/2012/04/05/184300/1886299/10/wakil-ketua-dpr-naikkan-gaji-hakim?9911012
2.Asep Iriawan, Mantan Hakim
Profesi hakim harus dipan­dang juga sebagai profesi yang sangat penting bagi penegakan hukum. Oleh karena itu kese­jah­teraannya wajib diting­kat­kan.
Di Indonesia, gaji seorang ha­kim justru berada di bawah gaji PNS golongan biasa. Se­mestinya, harus berada diatas pegawai BUMN, anggota De­wan, Menteri, TNI, Polri. Bila perlu gaji hakim harus lebih tinggi dari Presiden. Apalagi kondisi kehidupan hakim di pedalaman sangat mempriha­tinkan. Tentunya hal ini mem­buat ketidakadilan.
Pemerintah harus memper­hatikan kesejahteraan hakim. Bila itu diabaikan dapat mem­pengaruhi melakukan korupsi. Bila gaji dan tunjangan sudah di­naikkan tapi  tetap melakukan ko­rupsi, maka hukumannya yang di­berikan pun harus khu­sus yaitu, hukuman yang lebih besar dari ke­jahatan lainnya.
Sumber : http://www.rakyatmerdekaonline.com/read/2012/03/17/57815/Hakim-Daerah-Protes-4-Tahun-Gaji-Tak-Naik
3.Imam Anshori Saleh, Wakil Ketua Komisi Yudisial
Nasib hakim yang telah 11 ta­hun tidak mengalami kenaikan uang tunjangan sangat mem­prihatinkan jika dibandingkan dengan PNS/TNI/Polri yang telah mengala­mi ke­nai­kan gaji/tunjangan secara sig­nifikan beberapa waktu tera­khir. Bila kondisi ini dibiarkan dikha­wa­tirkan akan membuka peluang korupsi.
Godaan para hakim itu sangat besar. Jika kesejahteraannya ti­dak diperhatikan, hakim-hakim berpotensi akan menerima suap atau tanda terimakasih dari orang yang berperkara di penga­dilan.
Pada kesempatan saat berte­mu dengan Presiden Susilo Bam­bang Yudhoyono, Kami telah menyampaikan masalah ter­sebut Maret 2011. Tapi sam­pai saat ini belum terealisasi.
Sejauh  ini pemerintah belum maksimal memberikan remu­ne­­rasi kepada para hakim. Un­tuk itu KY akan berjuang su­pa­ya kenaikan uang tunjangan ha­kim serta gaji pokok hakim di­prioritaskan dengan meng­usul­kannya ke DPR
Sumber : http://www.rakyatmerdekaonline.com/read/2012/03/17/57815/Hakim-Daerah-Protes-4-Tahun-Gaji-Tak-Naik
4.Todung Mulya Lubis, Praktisi Hukum
Wajar saja bila ada hakim yang merasa tidak dihargai karena gaji mereka sudah di bawah PNS biasa. Padahal tugas dan tanggung jawab yang dibebankan kepada mereka sangat berat sekali.
Hakim sebagai pejabat negara sudah sepatutnya diberikan tunjangan remunerasi dan gaji jauh lebih tinggi ketimbang yang diterima hari ini. Ini untuk menghindari penyelewengan.
Sangat sulit bagi pemerintah mendapatkan putusan-putusan yang memenuhi rasa keadilan. Setidaknya dengan gaji dan tunjangan tinggi dapat membantu itu.
Sebaiknya pemerintah bersama MA dan Komisi Yudisial serius memperjuangkan nasib dan kesejahteraan para hakim di daerah terpencil.
Sumber : http://www.rakyatmerdekaonline.com/read/2012/03/17/57815/Hakim-Daerah-Protes-4-Tahun-Gaji-Tak-Naik
5.Prof. Dr. Topane Gayus Lumbuun, SH., MH., Hakim Agung
"Saya mengharapkan agar Ikatan Hakim Indonesia (IKAHI) Pusat bisa memperjuangkan kenaikan gaji pokok hakim secara wajar," kata hakim agung Gayus Lumbuun saat berbincang dengan detikcom, Kamis (15/3/2012).
Gayus menilai sudah saatnya hakim di seluruh penjuru Tanah Air mendapatkan kenaikan gaji, seiring kenaikan harga barang dan biaya hidup sehari-hari dari tahun ke tahun. Menurut Gayus, hakim-hakim di pelosok Tanah Air mempunyai dedikasi dan idealisme yang cukup tinggi dalam mengemban tugas sehingga wajar mendapat kenaikan gaji. Terlebih, hakim sesuai UU adalah pejabat negara.
Sumber : http://news.detik.com/read/2012/03/15/113642/1868000/10/gaji-hakim-lebih-rendah-dari-gaji-pns-hakim-gayus-naikkan-gaji-hakim
6.Taufiequrrahman Ruki, Mantan Ketua KPK
Terkait pertanyaan tersebut, mantan Ketua KPK Taufiequrrahman Ruki pernah menyampaikan bahwa reformasi aparatur peradilan bisa dilakukan dengan dua cara pertama, pemuliaan hakim yaitu jadikan hakim sebagai the honourable, yang dimuliakan dengan memberi gaji, upah, tunjangan dan fasilitas terbaik bagi hakim, kedua pemberdayaan peradilan.
Untuk itu perlu kiranya dilihat kembali dalam peraturan perundang-undangan yang berlaku apakah hakim telah didudukkan dan diperlakukan secara proporsional sesuai dengan fungsinya sebagai pelaksana institusi dasar negara dalam urusan peradilan yaitu melayani kepentingan para pencari keadilan (justitiabelen).
Sumber : http://www.tribunnews.com/2011/01/13/mengurai-benang-kusut-reformasi-peradilan
7.Prof. Hikmahanto Juwana
Terhadap realitas tersebut, Prof. Hikmahanto Juwana pernah menyampaikan bahwa dalam melakukan reformasi peradilan satu hal yang paling esensial adalah mengembalikan profesi hakim menjadi profesi yang berwibawa dan terhormat yaitu dengan memberikan kompensasi (kesejahteraan) secara layak terhadap profesi hakim. Hakim hanya dapat menerima secara sah kompensasi dari negara, oleh karenanya negara harus memberikan kompensasi dengan baik kalau perlu semua hakim adalah pejabat negara sehingga tidak terbentur dengan aturan - aturan pegawai negeri.
Sumber : http://www.tribunnews.com/2011/01/13/mengurai-benang-kusut-reformasi-peradilan
8.Prof. Satjipto Rahardjo, Sosiolog hukum Indonesia
Sosiolog hukum Indonesia alm. Prof. Satjipto Rahardjo dalam salah satu tulisannya pernah menyampaikan bahwa hakim perlu diberikan gaji yang cukup agar tidak terbebani oleh "urusan duniawi" sehingga dapat banyak membaca, menimbang, dan merenungkan dengan seksama persoalan yang dihadapi  guna menjatuhkan putusan dan memberikan keadilan yang berkualitas, oleh karena pekerjaan menegakkan hukum dan keadilan itu tidak segampang dan sejelas seperti dikatakan oleh undang-undang tetapi sarat dengan berbagai intervensi baik itu sosial, ekonomi maupun politik. Dengan kata lain menerapkan hukum untuk menegakkan keadilan tidak seperti memutar nomor telepon, begitu diputar selesai masalah.
Sumber : http://www.tribunnews.com/2011/01/13/mengurai-benang-kusut-reformasi-peradilan
9. Prof. Jimly Asshidiqie
Dalam tanya jawab di website pribadinya, Prof.Jimly Asshidiqie member jawaban atas pertanyaan yang diajukan penulis dengan menyatakan “Saya sendiri setuju dan memang begitulah pendapat saya, yaitu bahwa hakim itu seluruhnya adalah pejabat negara, tapi sekarang kita masih terbentur dengan Undang-Undang tentang Kekuasaan Kehakiman yang menentukan status hakim sebagai PNS yang diangkat menjadi hakim. Sistem kepegawaian hakim masih dirumuskan sebagai bagian dari pengertian PNS. Ini harus diubah dulu baru kita bisa memperbaiki seluruhnya[7] dan atas pertanyaan yang lain, beliau menyampaikan “iya, tapi sampai sekarang yang berlaku adalah hakim diangkat sebagai PNS. Inilah yang mesti diubah dengan sekaligus menegaskan status hakim sebagai pejabat negara dan bukan lagi PNS, sehingga semua hakim benar-benar diperlakukan sebagai pejabat negara dengan segala hak-haknya seperti tunjangan pejabat negara dan sebagainya. Penegasan demikian harus dengan PP berdasarkan dengan UU yang ada, jika tidak maka hakim akan tetap seperti sekarang. Yang diperlakukan sebagai pejabat negara sekarang hanya hakim agung dan hakim konstitusi saja, sedangkan hakim di tingkat pertama & kedua, tidak dianggap sebagai pejabat negara. Secara yuridis, penyebutan sebagai pejabat negara itu berkaitan dengan hak-hak administratifnya dengan konsekwensi tunjangan dan sebagainya. Untuk semua ini diperlukan penegasan dalam peraturan pelaksana UU No. 48/2009 yang saudara sebut diatas, termasuk juga dalam proses pengangkatan hakim, dan sistem kepangkatannya jangan lagi mengikuti PNS, misalnya dengan menggunakan sistem penggolongan yaitu Golongan III A, B, C, D, dan Golongan IV A, B, C, D, dan E. Sistem penggolongan ini yang menentukan hak-hak dan kewajiban para hakim dalam sistem administrasi negara;
Sumber : http://hukum.kompasiana.com/2012/04/06/quo-vadis-status-hakim/
10. Habiburrokhman, SH (Juru Bicara Serikat Pengacara Rakyat)
Habiburokhman menegaskan, tidak bisa tidak, pemerintah harus member perhatian serius terhadap tuntutan kesejahteraan hakim ini. Teori adanya hubungan antara kesejahteraan hakim dan kualitas putusannya sudah terbukti di banyak Negara-negara di seluruh dunia.
Ia mencontohkan, di India, Malaysia, Perancis terbukti bahwa dengan ditingkatkannya kesejahteraan hakim, kualitas putusan mereka akan bertambah baik secara parallel. Prinsipnya, hakim harus sejahtera dahulu, baru ia bisa membuat putusan yang adil. “Sebagai pengacara, kami juga berkepentingan dengan terpenuhinya kesejahteraan hakim. Sebab, jika hakim sudah sejahtera, maka tugas pengacara di pengadilan akan lebih mudah, karena pengacara hanya cukup beradu kepintaran dan tidak direpotkan “urusan non teknis” lain seperti yang selama ini sering terjadi,” seru Juru Bicara SPR.
Sumber : http://www.pesatnews.com/read/2012/03/29/3248/hakim-mogok-timbul-kekacauan-hukum
11. Alamsyah Hanafiah, SH (Advokat)
Menurut Alamsyah, gaji pejabat Negara yang termurah di dunia adalah hakim di Indonesia. Pejabat Negara yang gajinya termurah di Indonesia adalah hakim. Gaji hakim dinilainya tidak manusiasi, karena ada seorang hakim yang sudah bekerja selama 24 tahun gajinya masih Rp 3.600.000;.
"Seharusnya sebagai lembaga tinggi Negara, MA harus mempunyai APBN sendiri seperti lembaga tinggi Negara lainnya seperti DPR, Presiden dan lain-lain," kata Alamsyah.
Jadi kalau andaikata hakim akan melakukan aksi mogok kerja seluruh Indonesia, itu menurut Alamsyah sangat-sangat relevan dan bisa dimaklumi, karena gaji hakim tidak manusiawi. KY menurutnya, tidak bisa mempersalahkan hakim yang mogok kerja karena ini bukan masalah etik, tapi masalah kemanusiaan karena gaji dan fasilitasnya tidak manusiawi.
Begitu juga ia menilai fasilitas hakim harus terjamin, mengingat ia pejabat Negara. Misalnya kendaraan dinas dan pengawal, karena hakim adalah pejabat Negara yang banyak musuhnya.
Sumber : http://www.mediasionline.com/readnews.php?id=2988
12. jaja ahmad jayus (Komisi Yudisial)
The commission said the proposed salary increase could help bolster judges’ professionalism and integrity. “We have conducted research, which suggests that decent basic salaries for lower court judges is Rp 7.1 million [US$781],” a Judicial Commission member, Jaja Ahmad Jayus, said on Tuesday.He said that with this amount, judges could pay for their basic needs from housing and food to transportation. The average pay for lower court judges is Rp 5.5 million.
 Commission spokesperson Asep Rahmat Fajar said that the proposed figure was based on a survey that was begun in 2008 and restarted three months ago.
sumber : http://www.thejakartapost.com/news/2012/04/05/commission-proposes-salary-hike-judges.html
13. Winston Churchill :
"Our aim is not to make our judges wealthy men, but to satisfy their needs to maintain a modest but dignified way of life suited to the gravity, and indeed, the majesty, of the duties they discharge. We must make the remuneration of judges attractive so that we can defeat any temptation to corruption by the judiciary. This will not only be intended to benefit judges but the greater benefit is to the administration of justice itself.
Sumber : http://samaita-gutuboy.blogspot.com/2011/12/reserve-bank-corrupting-judges.html
14. Eva Kusumandari (Anggota Komisi III PDI-P)
mengatakan, prioritas saat ini adalah menaikkan gaji para hakim, terutama hakim daerah,ketimbang pembenahan fasilitas lembaga peradilan. Gaji salah satu alternatif solusi untuk mengurangi godaan para hakim. sumber: http://www.seputar-indonesia.com/edisicetak/content/view/484426/34/
15.Didi Irawadi (Anggota Komisi III PD) berpendapat sama.Kesejahteraan hakim saat ini adalah prioritas yang harus segera diwujudkan dengan tambahan dana tersebut, apalagi untuk daerah terpencil. Selanjutnya, pemerintah juga diminta memprioritaskan kenaikan gaji pokok para hakim. sumber: http://www.seputar-indonesia.com/edisicetak/content/view/484426/34/
16. Aboebakar Al Habsy (Anggota Komisi III DPR)
Saya kira ketua MA sebagai primus interpares haruslah memperjuangkan nasib para hakim tersebut, kita harus prioritaskan anggaran untuk kesejahteraan mereka. Saya sangat mendukung aksi untuk perbaikan kesejahteraan hakim, namun hal ini harus dilakukan dengan benar dan
efektif," ujar Anggota Komisi III DPR, Aboebakar Al Habsy kepada Tribunnews.com, Senin(9/4/2012)
Sumber : http://m.tribunnews.com/2012/04/09/anggota-dpr-ketua-ma-harus-perjuangkan-kesejahteraan-hakim
17. Anggara Suwahju (Direktur Institut for Criminal Justice Reform )
Ancaman mogok sidang lebih dari 4 ribu hakim di seluruh Indonesia menuntut kesejahteraan dinilai sebuah langkah positif. Sebab hal ini merupakan langkah yang benar daripada mencari kesejahteraan dengan cara jual beli perkara. "Bagus kalau menunut kesejahteraan dengan mogok sidang. Ini cara menuntut kesejahteraan yang benar dalam ranah demokrasi," kata Direktur Institut for Criminal Justice Reform (ICJR), Anggara Suwahju, saat berbincang dengan detikcom, Senin (9/4/2012). Menurut Anggara, mogok sidang menunjukkan hakim masih punya hati nurani. Mereka tidak mau disuap untuk mengatasi kesulitan hidup. "Ini sesuatu yang positif dalam tatanan demokrasi," ujar Anggara.
Sumber : http://news.detik.com/read/2012/04/09/103834/1887560/10/4-ribu-hakim-mogok-sidang-tuntut-kesejahteraan-bagus?9911012
18. Drs. Eko Sutrisno, M.Si (Wakil Kepala Badan Kepegawaian Negara/BKN) menyatakan : " Hakim adalah pejabat negara tertentu, karena dari posisi aministrasi, sistem rekrument, dan NIP, masih mengadopsi sistem PNS". BKN tdak mempunyai kewenangan membina secara langsung terhadap pejabat negara, kewenangan ada di pejabat pembina kepegawaian masing-masing. Untuk itu maka hendaknya gaji hakim seharusnya diberikan secara layak dan adil karena gaji adalah harga jabatan.
Sumber : Buletin Komisi Yudisial volume VI no 4 januari-februari 2012 Halaman 43
19. Prof. DR. H. Laica Marzuki, SH, MH (Mantan Wakil Ketua MK) Mengatakan : penempatan status hakim sebagai pejabat negara sudah tepat, hakim sebagai pejabat negara harus diberikan fasilitas yang layak.
Sumber : Buletin Komisi Yudisial volume VI no 4 januari-februari 2012 Halaman 43
20. Bambang Soesatyo ( Anggota Komisi III DPR )
Apabila tingkat kesejahteraan hakim tidak segera diperbaiki, proses penegakan hukum terancam berantakan. Hal itu nantinya akan menjadi titik lemah adanya upaya penegakan hukum.
"Karena mereka mengungkap sekaligus menunjukan adanya kelemahan mendasar dalam agenda penegakan hukum di negara ini. Demi tujuan besar agenda penegakan hukum, keluhan hakim daerah harus direspons dengan kebijakan yang solutif," kata Anggota Komisi III DPR, Bambang Soesatyo kepada Tribunnews.com, Senin(9/4/2012).
Sumber : http://www.tribunnews.com/2012/04/09/kesejahteraan-hakim-diabaikan-penegakan-hukum-berantakan
21. Ahmad Basarah (Anggota Komisi III DPR), mengatakan "Sebagai salah faktor penting saya setuju gaji hakim harus lebih besar dari PNS lain, bahkan harus lebih besar dari gaji pegawai KPK,"
Sumber : http://www.metrotvnews.com/read/news/2012/04/09/87934/DPR-Janji-Perjuangkan-Gaji-Hakim/1
22. Harry Ponto,(Advokat/pengajar Fakultas Hukum Universitas Pelita Harapan) mengatakan : ”Profesi hakim kini sudah SOS (save our souls). Harus diselamatkan sebab rendahnya kesejahteraan hakim. Hakim menjadi pemutus keadilan. Kalau kesejahteraannya rendah, mereka rawan disuap. Keadilan pun diperdagangkan,”
Sumber : http://nasional.kompas.com/read/2012/04/09/04052132/Profesi.Hakim.Harus.Diselamatkan.
23. Pramono Anung (Wakil Ketua DPR), mendukung kenaikan gaji para hakim. Peningkatan kesejahteraan dapat menekan perilaku buruk para hakim melalui jual beli perkara yang ditangani.
Sumber : http://news.detik.com/read/2012/04/09/111927/1887664/10/hindari-jual-beli-kasus-pramono-dukung-kenaikan-gaji-hakim?nd992203605
24. Marzuki Alie ( Ketua DPR RI )
Mengenai kesejahteraan hakim yang dinilai masih kurang ini, Ketua DPR RI Marzuki Alie mengatakan sudah lama mendengar mengenai keluhan hakim terkait kebutuhan hidup.
“Saya sudah mendengar keluhan para hakim khususnya dalam persoalan yang membuat mereka tidak settle dalam kehidupan sehari-hari,” ungkap Marzuki kepada Skalanews, Sabtu (7/4).
Dia pun mempunyai harapan agar kesejahteraan hakim bisa lebih baik lagi. “Bagaimana kesejahteraan hakim bisa lebih baik lagi sehingga kedepannya  mereka bisa bekerja lebih baik,” terang pria kelahiran 56 tahun yang lalu ini.
Sumber : http://www.skalanews.com/baca/news/8/0/108975/politik/marzuki-alie-berharap-kesejahteraan-hakim-bisa-lebih-baik-.html
25. Prof. T.M Hasbi Ash Shiddieqy
Chalifah Alie (Chulafa Rasjidin) pada masa kepemimpinannya menaikkan gaji hakim Sjuraih dari 100 dirham menjadi 500 dirham sebulan agar hakimnya memperoleh kesejahteraan rumah tangga, padahal Chalifah Alie mengambil untuk dirinya dari Baitul Mal hanya sepiring nasi setiap harinya.
Sumber : Prof. T.M Hasbi Ash Shiddieqy, Sedjarah Peradilan Islam, Bulan Bintang, Djakarta, 1970

Saturday, January 7, 2012

Basic Principles on the Independence of the Judiciary

Adopted by the Seventh United Nations Congress on the Prevention of Crime and the Treatment of Offenders held at Milan from 26 August to 6 September 1985 and endorsed by General Assembly resolutions 40/32 of 29 November 1985 and 40/146 of 13 December 1985.

Whereas in the Charter of the United Nations the peoples of the world affirm, inter alia , their determination to establish conditions under which justice can be maintained to achieve international co-operation in promoting and encouraging respect for human rights and fundamental freedoms without any discrimination;
Whereas the Universal Declaration of Human Rights enshrines in particular the principles of equality before the law, of the presumption of innocence and of the right to a fair and public hearing by a competent, independent and impartial tribunal established by law;
Whereas the International Covenants on Economic, Social and Cultural Rights and on Civil and Political Rights both guarantee the exercise of those rights, and in addition, the Covenant on Civil and Political Rights further guarantees the right to be tried without undue delay;
Whereas frequently there still exists a gap between the vision underlying those principles and the actual situation;
Whereas the organization and administration of justice in every country should be inspired by those principles, and efforts should be undertaken to translate them fully into reality;
Whereas rules concerning the exercise of judicial office should aim at enabling judges to act in accordance with those principles; 
Whereas judges are charged with the ultimate decision over life, freedoms, rights, duties and property of citizens,
Whereas the Sixth United Nations Congress on the Prevention of Crime and the Treatment of Offenders, by its resolution 16, called upon the Committee on Crime Prevention and Control to include among its priorities the elaboration of guidelines relating to the independence of judges and the selection, professional training and status of judges and prosecutors,
Whereas it is, therefore, appropriate that consideration be first given to the role of judges in relation to the system of justice and to the importance of their selection, training and conduct,
The following basic principles, formulated to assist Member States in their task of securing and promoting the independence of the judiciary should be taken into account and respected by Governments within the framework of their national legislation and practice and be brought to the attention of judges, lawyers, members of the executive and the legislature and the public in general. The principles have been formulated principally with professional judges in mind, but they apply equally, as appropriate, to lay judges, where they exist. 

Independence of the judiciary 

1. The independence of the judiciary shall be guaranteed by the State and enshrined in the Constitution or the law of the country. It is the duty of all governmental and other institutions to respect and observe the independence of the judiciary.
 
2. The judiciary shall decide matters before them impartially, on the basis of facts and in accordance with the law, without any restrictions, improper influences, inducements, pressures, threats or interferences, direct or indirect, from any quarter or for any reason. 

3. The judiciary shall have jurisdiction over all issues of a judicial nature and shall have exclusive authority to decide whether an issue submitted for its decision is within its competence as defined by law. 

4. There shall not be any inappropriate or unwarranted interference with the judicial process, nor shall judicial decisions by the courts be subject to revision. This principle is without prejudice to judicial review or to mitigation or commutation by competent authorities of sentences imposed by the judiciary, in accordance with the law. 

5. Everyone shall have the right to be tried by ordinary courts or tribunals using established legal procedures. Tribunals that do not use the duly established procedures of the legal process shall not be created to displace the jurisdiction belonging to the ordinary courts or judicial tribunals. 

6. The principle of the independence of the judiciary entitles and requires the judiciary to ensure that judicial proceedings are conducted fairly and that the rights of the parties are respected.
 
7. It is the duty of each Member State to provide adequate resources to enable the judiciary to properly perform its functions. 

Freedom of expression and association
 
8. In accordance with the Universal Declaration of Human Rights, members of the judiciary are like other citizens entitled to freedom of expression, belief, association and assembly; provided, however, that in exercising such rights, judges shall always conduct themselves in such a manner as to preserve the dignity of their office and the impartiality and independence of the judiciary.
 
9. Judges shall be free to form and join associations of judges or other organizations to represent their interests, to promote their professional training and to protect their judicial independence.
Qualifications, selection and training 

10. Persons selected for judicial office shall be individuals of integrity and ability with appropriate training or qualifications in law. Any method of judicial selection shall safeguard against judicial appointments for improper motives. In the selection of judges, there shall be no discrimination against a person on the grounds of race, colour, sex, religion, political or other opinion, national or social origin, property, birth or status, except that a requirement, that a candidate for judicial office must be a national of the country concerned, shall not be considered discriminatory. 

Conditions of service and tenure
 
11. The term of office of judges, their independence, security, adequate remuneration, conditions of service, pensions and the age of retirement shall be adequately secured by law. 

12. Judges, whether appointed or elected, shall have guaranteed tenure until a mandatory retirement age or the expiry of their term of office, where such exists. 

13. Promotion of judges, wherever such a system exists, should be based on objective factors, in particular ability, integrity and experience. 

14. The assignment of cases to judges within the court to which they belong is an internal matter of judicial administration. 

Professional secrecy and immunity 

15. The judiciary shall be bound by professional secrecy with regard to their deliberations and to confidential information acquired in the course of their duties other than in public proceedings, and shall not be compelled to testify on such matters. 

16. Without prejudice to any disciplinary procedure or to any right of appeal or to compensation from the State, in accordance with national law, judges should enjoy personal immunity from civil suits for monetary damages for improper acts or omissions in the exercise of their judicial functions.
 
Discipline, suspension and removal 

17. A charge or complaint made against a judge in his/her judicial and professional capacity shall be processed expeditiously and fairly under an appropriate procedure. The judge shall have the right to a fair hearing. The examination of the matter at its initial stage shall be kept confidential, unless otherwise requested by the judge. 

18. Judges shall be subject to suspension or removal only for reasons of incapacity or behaviour that renders them unfit to discharge their duties.
 
19. All disciplinary, suspension or removal proceedings shall be determined in accordance with established standards of judicial conduct. 

20. Decisions in disciplinary, suspension or removal proceedings should be subject to an independent review. This principle may not apply to the decisions of the highest court and those of the legislature in impeachment or similar proceedings.