Tuesday, May 1, 2012

Hakim Indonesia Menggugat

Ancaman hakim-hakim di daerah untuk mogok sidang setelah gaji yang tak naik selama empat tahun, dan tunjangan yang tak ditinjau selama sebelas tahun, makin menguat. Berbagai media massa dalam beberapa minggu terakhir secara terus menerus memuat pemberitaan mengenai tuntutan hakim dan kisah-kisah miris kehidupan para hakim akibat minimnya gaji dan tunjangan. Sekelompok hakim dari berbagai di daerah datang ke Jakarta untuk melakukan beberapa audiensi dengan para pemangku kepentingan: Mahkamah Agung, Komisi Yudisial, Komisi 3 DPR dan bahkan Presiden.
MA sejauh ini tidak menyatakan mendukung gerakan para hakimnya untuk mogok sidang karena posisi MA yang menuntut dirinya tetap bersikap santun dan formal dalam percaturan ketatanegaraan. Namun boleh dikatakan gerakan hakim ini berguna untuk menyuarakan gagasan-gagasan yang diam-diam didukung oleh MA namun tidak dapat diungkapkan secara resmi.
Gerakan mogok hakim pernah terjadi di Indonesia pada masa-masa awal kemerdekaan di tahun 1956. Pemogokan dipicu oleh naiknya gaji jaksa sehingga setara dengan gaji hakim, yang merupakan cerminan bahwa status hakim dan jaksa dinyatakan setara. Pada masa itu, kesejahteraan hakim juga merupakan masalah mendasar, namun tuntutan kenaikan gaji lebih merupakan perjuangan menempatkan posisi politis hakim lebih tinggi dari jaksa yang ditunjukkan dengan gaji yang lebih tinggi (Pompe, 2005).
Gerakan mogok pada tahun 1950an ini mendapat dukungan penuh dari organisasi profesi hakim yaitu Ikahi (Ikatan Hakim Indonesia), meskipun tidak mendapat dukungan resmi dari MA. Daniel S Lev dan Sebastiaan Pompe dalam tulisannya menjelaskan bahwa Ikahi pada masa itu merupakan kendaraan yang efektif untuk memperjuangkan hak-hak Hakim. Ikahi bahkan berani berdiri berseberangan dengan MA dan Pemerintah yang dianggap sebagai bagian dari birokrasi Negara. Pada tahun 1956 pengadilan benar-benar berhenti bekerja selama satu hari ketika para hakim merealisasikan ancaman mogok sidang. Meskipun gerakan mogok hakim ini gagal karena tepat keesokan harinya parlemen dinyatakan bubar/membubarkan diri). Namun gerakan pada tahun 1956 ini merupakan upaya terbuka hakim yang monumental dalam memperjuangkan, bukan hanya gaji, tetapi juga status dan kedudukan pengadilan.
Masalah status dan kedudukan, sejak awal kemerdekaan dan masa orde baru serta kini di masa reformasi, selalu menjadi masalah utama pengadilan. Minimnya kesejahteraan hakim merupakan indikasi utama marginalisasi Negara terhadap sayap kekuasaan yudikatif. Pengadilan selalu dituntut oleh publik untuk memberikan keadilan dan menegakkan pilar hukum, namun ditekan habis-habisan oleh Negara dalam berbagai aspek. Mulai dari minimnya kesejahteraan hakim, tiadanya jaminan keselamatan dan keamanan, hingga intervensi terbuka atas independensi dalam berbagai forum politik dan ketatanegaraan. Bukan hal baru jika kita sering melihat pernyataan-pernyataan negatif pejabat negara terhadap pengadilan maupun hakim, yang mana hal tersebut sangat jarang dilakukan di negara-negara beradab lainnya. Jika pengadilan yang kita temukan saat ini berada dalam kondisi bobrok dan akut, maka ini adalah hasil dan dampak dari proses pelemahan yang berlangsung puluhan tahun lamanya.
Perjuangan menyuarakan penghargaan terhadap status hakim terus berlangsung hingga kini. Jika dulu Ikahi selalu berdiri di belakang para hakim, dan tuntutannya dipertimbangkan oleh Departemen Kehakiman dan MA di hadapan Pemerintah dan Parlemen, di masa kini siapa yang mendukung gerakan hakim ini?
Pasca penyatuan atap di tahun 1999 yang efektif berlaku di tahun 2004, segala urusan admistratif pengadilan dialihkan dari tangan eksekutif  yaitu Departemen Kehakiman (kini Departemen Hukum dan HAM), dan dikelola sendiri oleh MA. Namun penyatuan atap membawa masalah yang tidak terlalu disadari di awal pelaksanaannya. Di masa lalu segala urusan administratif pengadilan dikelola oleh Departemen Kehakiman. Setidaknya di sayap eksekutif terdapat instansi yang memahami kepentingan pengadilan serta melakukan lobi yang diperlukan baik kepada Pemerintah sendiri maupun kepada lembaga legislatif.
Pemegang kekuasaan yudikatif dalam hal ini MA sejatinya memang harus dijauhkan dari peran-peran politis termasuk untuk melakukan lobi kebijakan dan anggaran. Namun setelah penyatuan atap MA dituntut untuk dapat melakukan sendiri lobi politik kebijakan dan anggaran. Lobi politik yang dilakukan langsung oleh lembaga yudikatif akan membuka lebar-lebar pintu intervensi eksekutif dan legislatif terhadap yudikatif. Komisi Yudisial yang dibentuk untuk menegakkan keluhuran martabat hakim baru akhir-akhir ini saja berupaya menyuarakan masalah status setelah sekian tahun lebih banyak menggempur soal integritas hakim tanpa benar-benar memahami akar masalah runyamnya integritas.
Ikahi yang pada masa lalu menjadi kendaraan politik hakim untuk menyuarakan urusan yang tidak dapat disuarakan oleh MA, kini juga telah kehilangan bentuknya. Di masa lalu pimpinan Ikahi selalu dipegang oleh hakim-hakim pengadilan banding dan pengadilan pertama, sehingga Ikahi menjadi alat perjuangan hakim tingkat bawah kepada MA. Sedangkan pimpinan Ikahi masa kini mayoritas adalah Hakim Agung, sehingga posisi Ikahi hampir tidak dapat lagi dibedakan dengan MA. Dinamika dan perdebatan dalam hubungan Ikahi – MA yang diperlukan dalam sebuah konstalasi saling mengisi untuk memperjuangkan kepentingan Hakim dan Pengadilan, tidak lagi berjalan.
Praktis saat ini tidak ada wadah yang dapat digunakan untuk menyuarakan kepentingan para Hakim. Perjuangan mengangkat status hakim tampaknya semakin berat di saat sentimen publik terhadap pengadilan semakin memburuk dan ketiadaan instansi yang menyuarakan kepentingan hakim dan pengadilan secara tepat sekaligus mampu melalukan lobi politik yang diperlukan kepada para pengambil kebijakan. Reformasi organisasi MA pasca penyatuan atap perlu dilakukan untuk memastikan Sekretariat MA mampu menjadi perpanjangan tangan fungsi eksekutif untuk mengurus segala dukungan administratif pengadilan termasuk kesejahteraan hakim. Namun saat ini tampaknya hampir tidak ada pilihan lain bagi para hakim kecuali berjuang sendiri menggugat marginalisasi yang dilakukan Negara.
Dian Rosita
Direktur Eksekutif Lembaga Kajian & Advokasi untuk Independensi Peradilan (LeIP)