Monday, June 18, 2012

Independen, Bukan Genit atau Liar


Saturday, 16 June 2012
Pada awal April 2008, tak lama setelah saya bersumpah sebagai hakim konstitusi, para wartawan bertanya,“ Apakah Anda bisa menegakkan independensi sebagai hakim?”

Saya menjawab, ”Saya baru saja mengucapkan sumpah untuk melaksanakan UUD dan peraturan perundang- undangan, artinya saya harus menjadi hakim yang selalu ‘berusaha’ untuk jujur dan independen.” “Apakah Anda berani menjatuhkan vonis mengalahkan Presiden atau DPR dalam menangani perkara di MK,”tanya wartawan lagi.“Saya takkan takut atau rikuh kepada Presiden atau DPR, saya takkan bisa ditekan oleh partai politik; tetapi sekaligus saya tak bisa ditekan oleh LSM atau digiring oleh insinuasi opini publik dan pers. Saya akan tegakkan independensi lembaga peradilan,” jawab saya.

 Jawaban itu saya berikan karena keyakinan bahwa independensi hakim adalah sangat prinsip di dalam negara hukum seperti Indonesia. Penegakan dan penjagaan independensi hakim ini sangat penting karena di mana pun di negara yang menganut supremasi hukum, ada beberapa prinsip yang harus ditegakkan secara sungguh- sungguh, yaitu antara lain adanya peradilan yang bebas dan tidak memihak. 

Dua prinsip negara hukum lainnya yang sangat umum dikenal adalah adanya jaminan perlindungan hak-hak asasi manusia (HAM) dan adanya legalitas hukum dalam segala bentuknya. Dengan demikian tidak ada negara yang bisa disebut sebagai negara hukum jika di dalamnya tidak ada kemerdekaan atau kebebasan lembaga peradilan. Di dalam Pasal 24 ayat(1) UUD 1945 kemerdekaan lembaga peradilan tersebut justru ditekankan pada kemerdekaan “kekuasaan kehakiman”. 

Dalam praktiknya kekuasaan kehakiman yang bebas,merdeka, dan tidak memihak itu terletak pada kebebasan dan independensi para hakim,sebab roh lembaga itu memang hanya bisa muncul pada atau dimunculkan oleh orang-orang yang menjadi hakim.Sudah pasti institusi penegak hukum yang lain seperti kepolisian,kejaksaan,dan advokat/ pengacara harus juga independen dan profesional. 

Sejak menyatakan merdeka dan menetapkan konstitusi negara dan bangsa,kita sudah menyatakan dengan tegas, Indonesia adalah negara hukum.Hal itu terlihat dari ketentuan Pasal 24 dan Penjelasan UUD yang disahkan pada tanggal 18 Agustus 1945. Tapi karena dalam praktiknya independensi para hakim selalu diganggu oleh politik dan sindikat perkara,maka pada awal Reformasi (1998) kita segera mereformasi kekuasaan kehakiman melalui perubahan UU No 14 Tahun 1970 dengan UU No 35 Tahun 1999. 

 Salah satu hal yang sangat penting dalam perubahan UU tersebut ialah ditariknya wewenang administratif dan finansial hakim dari pemerintah untuk selanjutnya diserahkan ke Mahkamah Agung dalam apa kita kenal sebagai “penyatuatapan” kekuasaan kehakiman. 

Pada tingkat konstitusi,kita memasukkan prinsip negara hukum bukan lagi di dalam penjelasan, melainkan dimasukkan ke dalam Pasal 1 ayat (3) UUD serta mengamendemen Pasal 24 UUD sehingga memuat penegasan tentang kemerdekaan kekuasaan kehakiman untuk menegakkan hukum dan keadilan, membentuk Mahkamah Konstitusi, dan membentuk Komisi Yudisial untuk menjaga dan menegakkan kehormatan,keluhuran martabat, serta perilaku hakim. 

Langkah-langkah reformasi dalam bidang peradilan,khususnya dalam bidang kekuasaan kehakiman,itu tidak lain dimaksudkan agar semua hakim bisa melaksanakan tugasnya secara independen dan tidak takut terhadap tekanan dari kekuasaan lain di luar dirinya. Secara umum memang dipahami bahwa semua hakim itu harus independen dan merdeka dari kekuasaan lembaga eksekutif yang biasanya punya energi kekuasaan yang sangat besar. 

Tapi secara substansial sebenarnya kemerdekaan atau independensi yang dimaksud adalah kemerdekaan atau independen dari kekuatan apa pun di luar diri hakim, termasuk independen dari insinuasi opini pers atau tekanan LSM. Hakim yang independen adalah hakim yang berani mengadili dan memutus berdasar hukum dan keadilan.Hakim harus berani mengalahkan atau menyatakan pemerintah atau pejabatnya bersalah sekaligus harus berani menyatakan pemerintah atau pejabatnya benar secara hukum.

 Bersamaan dengan itu,hakim juga harus berani tidak populer untuk melawan opini publik dan segala insinuasinya, termasuk harus tegak menghadapi tekanan LSM sekaliber apa pun. Hakim tidak boleh terjebak oleh insinuasi opini publik dan pers maupun tekanan dari LSM yang menggunakan kekuatan massa sekali pun.Kalau hakim hanya selalu terbawa opini publik dan pers serta ikut permainan LSM, maka independensi yang seperti itu adalah independensi yang genit,yang hanya ingin menyenangkan orang dan mencari nyaman serta citra untuk dirinya sendiri. 

Hakim tidak dilarang membangun citra diri, tetapi citra yang dibangun haruslah citra bahwa dirinya memang layak menjadi hakim dan bukan citra genit yang hanya ingin menyenangkan orang agar dirinya aman dan mendapat pujian dari pers dan LSM. Selain tidak boleh menjadikan independensi sebagai kegenitan, semua hakim juga tidak boleh menjadikan independensi sebagai kebebasan yang liar. 

Dalam banyak kasus, kebebasan yang diberikan kepada hakim belakangan ini ada yang digunakan sebagai kebebasan liar,yakni kebebasan untuk melakukan apa pun,termasuk kebasan berkolusi dan menjualbelikan perkara melalui penyuapan dan bentuk-bentuk korupsi lainnya. Independensi genit dan liar ini telah bisa menjadi bencana dahsyat bagi dunia hukum di Indonesia.

MOH MAHFUD MD Guru Besar Hukum Konstitusi

 http://www.seputar-indonesia.com/edisicetak/content/view/503802/

Monday, June 4, 2012

Problematika Jabatan Hakim di Indonesia


 Oleh : Sayuruddin Daulay, S.H., M.H.

"Berbagai pengalaman atau kenyataan secara ajek menunjukkan, setiap orang yang memegang kekuasaan cenderung menyalahgunakan kekuasaannya dan menjalankan kekuasaan itu tanpa batas (Montesquie)." Menurut teori pemisahan kekuasaan (separation of power) dari Montesquie, ditetapkan bahwa Lembaga Negara terdiri dari 3 (tiga) kekuasaan yaitu kekuasaan legislatif, eksekutif dan yudikatif. Ketiga kelompok kekuasaan ini memiliki fungsi yang sederajat dan saling mengimbangi (checks and balances).

Jika teori Montesquie ini diasumsikan untuk menganalisis lembaga-lembaga negara di Indonesia tampak bahwa tidak terwujud fungsi-fungsi Iembaga tersebut secara seimbang, bahkan mengutip pendapat Prof. King yang mengatakan ada 3 tipe konstitusi yaitu 1. Power sharing contitutions (membagi kekuasaan di antara lembaga-lembaga dengan pola koordinasi), 2. Power coording constitutions (mengonsentrasikan kekuasaan pada pusat kekuasaan yang kuat), 3. Power fractionatet constitutions (membagi-bagi kekuasaan tapi sangat sedikit pengaturan untuk memecahkan konflik antar kekuasaan), maka Indonesia menurut Prof. Philipus M. Hadjon dalam H.M. Laica Marzuki dalam bukunya: "Dari Timur ke Barat Memandu Hukum" (2008:410) menyatakan masih tidak jelas kategori mana tipe konstitusi negara Republik Indonesia.

Demikian juga dilihat dari sistem pemerintahan yang ditegaskan dalam Undang-Undang Dasar 1945, adalah Negara Indonesia berdasarkan atas hukum (rechtsstaat) tidak berdasarkan kekuasaan belaka (Machtsstaat), oleh karena itu mestinya hukum dijadikan sebagai panglima dalam melaksanakan kekuasaan negara artinya penegakan hukum (law enforcement) harus diberdayakan secara optimal dan Mahkamah Agung sebagai pelaku kekuasaan kehakiman di samping Mahkamah Konstitusi harus diposisikan seimbang dengan lembaga kekuasaan negara lainnya seperti eksekutif dan legislatif, akan tetapi yang tampak kepermukaan adalah kekuasaan yudikatif yakni Mahkamah Agung sebagai pelaku kekuasaan kehakiman ditempatkan dalam posisi abu-abu, artinya kedudukan Pejabat Mahkamah Agung sebagai Hakim Agung dan jabatan hakim pada peradilan di bawahnya tidak jelas diposisikan apakah sebagai pejabat negara atau tidak.

Problematika Jabatan Hakim

Dalam Pasal 19 Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 dinyatakan bahwa jabatan hakim adalah pejabat negara dan sistem penggajian diatur terpisah dari peraturan penggajian pegawai negeri sipil, akan tetapi secara substansial perlakuan terhadap jabatan hakim tidak sebagai pejabat negara tetapi pegawai negeri biasa, bahkan jauh di bawah pejabat di lingkungan lembaga eksekutif dan legislatif.

Jabatan hakim sengaja ditelantarkan agar tidak berdaya dalam penegakan hukum terhadap pelanggaran hukum yang dilakukan oleh para pejabat eksekutif dan legislatif, hal ini sudah pemandangan umum sehari-hari di mata publik, ketika seorang pejabat negara yang melanggar hukum tidak setimpal dengan vonis yang dijatuhkan hakim, sebaliknya jika rakyat biasa yang melakukan pelanggaran hukum, maka hukum yang ditegakkan sangat garang dan memberatkan, lihat saja vonis yang dijatuhkan kepada pejabat negara yang melakukan tindak pidana korupsi seperti Nazaruddin. Sebaliknya rasa keadilan sangat terganggu atas pemidanaan seorang tua miskin yang kedapatan mencuri buah coklat, dan betapa luas reaksi publik atas kasus Prita, meskipun sebenarnya tindakan pidana baik yang dilakukan pejabat negara atau rakyat biasa adalah tindakan pelanggaran hukum/kejahatan, tetapi yang dipersoalkan adalah substansi penegakan hukum terhadap dua pelaku kejahatan itu tidak mencerminkan nilai-nilai keadilan, bahkan mencederai rasa keadilan masyarakat.

Hal yang demikian itu semakin jelas bagi publik terhadap penerapan standard ganda dalam penegakan hukum di Indonesia, padahal sesungguhnya tidak semua penegakan hukum yang demikian itu tercermin dari perilaku para penegak hukum (Hakim) belaka, tetapi adalah potret ketidak berdayaan Hakim terhadap kekuasaan eksekutif dan legislatif. Dan memang hal itu sudah dikondisikan terhadap jabatan hakim di negeri ini, oleh karena itu ada benarnya ungkapan Montesquie di atas bahwa pemegang kekuasaan cenderung menyalahgunakan kekuasaan dan menjalankan kekuasaan tanpa batas.

Mereka bukan tidak tahu dan sadar bahwa sebenarnya hakim itu adalah pejabat negara yang sederajat dengan mereka sehingga dapat berperan mengontrol pelaksanaan kekuasaan, tetapi sengaja dilemahkan supaya tidak berdaya, selanjutnya issu secara terus-menerus dikembangkan dan dipublikasikan di media massa bahwa keterpurukan penegakan hukum di negeri ini adalah akibat dari mafia peradilan yang dilakukan pejabat peradilan, maka publik yang mengkonsumsi isu tersebut dengan sendirinya memaki, sumpah serapah kepada para hakim dikarenakan lunturnya kepercayaan kepada penegakan hukum di lembaga peradilan.

Sementara itu pejabat kekuasan eksekutif dan legislatif cuci tangan dan bersolek cantik menutupi kebiadaban mereka terhadap jabatan hakim tersebut. Mereka sepertinya tidak peduli bahwa pelemahan terhadap kekuasaan yudikatif adalah menghancurkan dan menodai sistem ketatanegaraan Indonesia yang berdasarkan hukum sebagaimana amanat Undang-Undang Dasar Negara Indonesia Tahun 1945 serta perubahannya yang sudah empat kali perubahan. Pada hal jika kekuasaan negara dipahami sebagai sebuah sistem, maka kasus-kasus yang dilimpahkan ke pengadilan adalah imbas dari keterpurukan pelayanan hukum di tingkat kekuasaan eksekutif dan atau legislatif, contoh pelayanan pajak, imigrasi, BUMN dan lain-lain yang mengindikasikan penyalahgunaan kekuasaan untuk memperoleh keuntungan pribadi. Dalam hal ini berlaku ungkapan "kalau dapat dipersulit mengapa dipermudah", rakyat tidak berdaya terpaksa tunduk kepada kekuasaan yang menyiapkan perangkap menyalahgunakan kekuasaan. Semua yang di sebutkan di atas merupakan kejahatan proses hukum (kejahatan di tingkat eksekutif dan atau legislatif) yang melimpah ke hilir (pengadilan). Akan tetapi celakanya yang mendapat celaan, sumpah serapah dan hujatan tertuju kepada hakim. Sedangkan persoalan besar di hulu (eksekutif dan legislatif) sebagai center problem (permasalahan pokok) kurang mendapat perhatian publik.

Gerakan Perubahan dari Para Hakim

Di lingkungan pejabat Mahkamah Agung dan pejabat peradilan di bawahnya sebenarnya upaya pelemahan lembaga yudikatif bukan tidak diketahui, bahkan dari segi anggaran Mahkamah Agung dari tahun ke tahun tidak pernah disetujui usulan Mahkamah Agung sesuai yang dibutuhkan di Mahkamah Agung. Dari hal ini saja sesungguhnya dapat dimaklumi ke arah pelemahan itu, tetapi pejabat Mahkamah Agung menyikapinya dengan bijaksana, sadar bahwa jabatan yang diemban sangat mulia sebagai "wakil Tuhan" untuk menegakkan keadilan di bumi pertiwi ini. Akan tetapi meskipun disikapi dengan bijaksana, ternyata tidak dapat menyadarkan kedua bentuk kekuasaan itu supaya menempatkan kekuasaan yudikatif pada porsi kewenangannya, Mahkamah Agung terus ditempatkan tidak selayaknya sebagai salah satu lembaga kekuasaan negara, lembaga peradilan terus-menerus dipasung sebagai subordinasi eksekutif dan legislatif, jabatan hakim ditelantarkan baik dari aspek fasilitas penegakan hukum mapun kesejahteraan hakimnya jauh di bawah standard pejabat eksekutif dan legislatif.

Hal inilah yang membangunkan kesadaran para hakim, jika hal ini terus berkelanjutan, maka hakim yang disebut "Yang Mulia" akan terus menanggung dosa kemunafikan Pejabat kekuasaan eksekutif dan atau legislatif yang menari-nari di atas caci-makian, sumpah serapah publik terhadap para hakim, maka belakangan ini digelorakan dari arus bawah - yang secara langsung mengalami cacian dan sumpah serapah publik - tentang tuntutan kenaikan gaji hakim untuk memberdayakan para hakim supaya dapat menegakan hukum kepada seluruh lapisan bangsa Indonesia, sehingga dapat diwujudkan secara konsekwen perlakuan yang sama di hadapan hukum (equality before the law).

Kesadaran para hakim ini, tampaknya dapat dipahami oleh berbagai kalangan publik, seperti para pemerhati hukum, pelaku ekonomi, para akademisi dan beberapa oknum anggota legislatif dengan memberikan dukungan positif, sedangkan tanggapan negatif dari sebagian masyarakat awam dapat dipahami akibat kekurangpahaman mereka terhadap sandiwara tingkat tinggi dari pemegang kekuasaan tersebut.

Persoalannya sekarang adalah bagaimana respon mereka terhadap tuntutan para hakim ini, apakah mereka terus memerankan panggung sandiwara ini dengan dalih yang tidak populer seperti tidak disetujui kenaikan harga BBM, subsidi yang begitu besar, sedangkan di pihak lain mereka mengabaikan kritik terhadap penggunaan anggaran yang berlebihan di lembaga eksekutif dan legislatif.

Kesimpulan

 Problematika di atas jika ditinjau dari perspektif negara hukum, maka tidak ada pilihan bagi pejabat kekuasaan eksekutif dan legislatif harus dengan legowo mengembalikan jati diri bangsa ini kepada negara hukum sebagaimana amanat UUD 1945 yang telah mengalami empat kali perubahan itu, dengan cara menempatkan kekuasaan yudikatif sederajat dan seimbang dengan kekuasaan eksekutif dan legislatif, tentunya antara lain tidak mentelantarkan jabatan hakim sebagai pejabat negara, selanjutnya harus mensejajarkan jabatan hakim dengan jabatan lembaga eksekutif dan legislatif. ***

 Penulis adalah praktisi hukum, sumber : http://www.analisadaily.com/news/read/2012/06/05/54349/problematika_jabatan_hakim_di_indonesia/#.T8zceVJacdM