Sunday, August 17, 2008

Pokok-pokok Pikiran Terhadap Naskah Akademik Rancangan Undang-Undang administrasi Pemerintahan


Oleh: DR. Wicipto Setiadi, SH, MH.

1. Pendahuluan
Kita memang sudah mempunyai undang-undang yang mengatur mengenai Peradilan Tata Usaha Negara (PTUN), yaitu Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986 sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 9 Tahun 2004. Undang-undang ini mengatur baik hukum formal (acara) maupun hukum materiil sekaligus. Masalahnya, apakah Undang-Undang tentang PTUN dapat mengatasi permasalahan hukum administrasi secara menyeluruh? Undang-Undang tentang PTUN memang belum mengatur secara komprehensif terutama mengenai hukum materiil.
Setelah berlaku selama kurang lebih 18 tahun, ternyata UU tersebut – termasuk juga UU perubahannya - ternyata banyak hal yang belum tertampung dalam UU ini. Hal ini merupakan hal yang wajar, karena ilmu pengetahuan selalu berkembang sangat dinamis. Oleh karena itu, ada adagium bahwa UU selalu ketinggalan dengan perkembangan dan hukum tertatih-tatih dalam mengejar ketinggalan perkembangan tersebut. Bahkan yang lebih ekstrim lagi, begitu diundangkan maka pada saat itu juga UU sudah ketinggalan. Konsekuensinya, para perancang peraturan perundang-undangan dituntut untuk dapat mengantisipasi perkembangan yang akan terjadi jauh ke depan.Apabila dilakukan penelitian, Undang-Undang tentang PTUN memang mengatur secara lebih detil hukum formal (acara) ketimbang hukum materiilnya. Dalam praktik, hakim sering mengalami kesulitan apabila berhadapan dengan perkara yang hukum materiilnya tidak diatur dalam Undang-Undang tentang PTUN. Apabila demikian, hakim akan mencari jalan keluar dengan mendasarkan pada pendapat para ahli (doktrin) atau yurisprudensi. Masalah lain, literatur mengenai hukum administrasi dalam bahasa Indonesia juga sangat tidak memadai. Literatur mengenai hukum administrasi kebanyakan masih ditulis dalam bahasa asing.
Untuk mempermudah hakim, apakah tidak sebaiknya disusun undang-undang yang secara lengkap mengatur mengenai hukum administrasi materiil? Berdasarkan pemikiran tersebut, kiranya perlu dipertimbangkan untuk menyusun undang-undang mengenai hukum administrasi materiil yang komprehensif, terpisah dari hukum formal (acara). Sebagai perbandingan, dalam bidang hukum perdata materiil kita mengenal Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (KUHPer), dalam bidang hukum perdata formal kita mengenal Hukum Acara Perdata. Sedangkan dalam bidang hukum pidana materiil kita mengenal Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) dan dalam hukum pidana formal kita mengenal Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP).
Hukum administrasi Indonesia - begitu juga dengan hukum lainnya - saat ini lebih berkiblat pada sistem hukum Belanda. KUHP, KUHPer, Hukum Acara Perdata yang berlaku saat ini merupakan peninggalan zaman Belanda, sehingga KUHP, KUHPer, dan Hukum Acara Perdata yang kita gunakan adalah terjemahan dari bahasa Belanda. Hal ini wajar, karena kita mempunyai hubungan historis yang cukup panjang dengan Belanda. Di Belanda hukum positif mengenai hukum administrasi diatur dalam Algemeene Wet Bestuursrecht.
Berdasarkan pada perbandingan tersebut, kiranya tidak berlebihan apabila di Indonesia juga disusun undang-undang yang mengatur secara lengkap (kodifikasi) hukum administrasi materiil, sama seperti hukum pidana dan hukum perdata materiil. Penyusunan undang-undang ini sangat memudahkan baik bagi praktisi maupun teoritisi. Memang memerlukan persiapan yang cukup untuk melakukan penyusunan rancangan undang-undang tersebut, mengingat materinya yang cukup luas. Sebagai perbandingan, KUHP dan Hukum Acara Perdata saja sudah disusun sejak tahun 1980-an hingga kini belum berhasil juga. Oleh karena itu, agar RUU Administrasi Pemerintahan ini mengatur secara komprehensif diperlukan waktu yang cukup. Hal ini terkait juga dengan semakin berkembangnya fungsi negara, semakin banyak negara ikut campur ke segala urusan sebagai konsekuensi dari negara kesejahteraan. Oleh karena itu, bidang administrasi negara menjadi semakin luas dan rumit.
2. Penamaan dan Prosedur Penyusunan Rancangan Undang-UndangMengenai nama atau judul dari Rancangan Undang-Undang, seyogyanya dipertimbangkan untuk menggunakan nama atau judul yang lebih luas cakupannya dan netral sifatnya, misalnya Rancangan Undang-Undang tentang Hukum Administrasi atau Hukum Tata Pemerintahan. Apabila mau mengikuti model hukum pidana materiil, maka judul yang digunakan adalah Rancangan Undang-Undang tentang Kitab Undang-Undang Hukum Administrasi. Sesuai dengan namanya, yaitu kitab, maka dalam RUU ini diatur secara lengkap hukum administrasi karena merupakan suatu kodifikasi. Konsekuensi selanjutnya, hukum materiil yang diatur dalam Undang-Undang tentang PTUN harus dikeluarkan. Sebaiknya dihindari istilah “prosedur”, karena RUU ini tidak mengatur masalah prosedural saja, tetapi muatannya sangat luas.
Seyogyanya juga jangan menggunakan nama atau judul Administrasi Pemerintahan, karena konotasinya sangat sempit, hanya masalah administrasi pemerintahan saja. Padahal yang hendak dijangkau bukan sekadar administrasi pemerintahan saja, tetapi lebih luas dari administrasi, misalnya masalah pengertian keputusan administrasi, kewenangan dan hal-hal lain yang lebih substantif.
Berdasarkan Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2004 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan (P3), penyusunan undang-undang dilakukan melelui tahap perencanaan yang disebut Program Legislasi Nasional (Prolegnas). Prolegnas yang disusun antara DPR dan Pemerintah dikoordinasikan oleh BALEG DPR. Sedangkan penyusunan Prolegnas di lingkungan Pemerintah dikoordinasikan oleh Menteri Hukum dan HAM. Undang-Undang tentang P3 tidak mengatur mengenai Naskah Akademik. Oleh karena itu, tidak ada keharusan bahwa sebelum disusun RUU disusun terlebih dahulu Nasakah Akademiknya. Tetapi untuk hal-hal yang tidak netral sifatnya perlu disusun Naskah Akademiknya terlebih dahulu dan Naskah Akademik tersebut menjadi dasar penyusunan RUU-nya. Dalam praktik sering terjadi bahwa antara penyusunan Naskah Akademik dan penyusunan RUU jalan sendiri. Artinya, dalam menyusun RUU sering tidak didasarkan pada Naskah Akademik.
RUU yang diajukan oleh Presiden disiapkan oleh menteri atau pimpinan lembaga pemerintah nondepartemen, sesuai dengan lingkup tugas dan tanggung jawabnya. Setelah itu, dilakukan pengharmonisasian, pembulatan, dan pemantapan konsepsi RUU yang dikoordinasikan oleh Menteri Hukum dan HAM. Berdasarkan UUD Negara RI Tahun 1945 telah terjadi pergeseran pemegang kekuasaan membentuk undang-undang kepada DPR. Sedangkan Presiden hanya berhak mengajukan RUU. Yang perlu dihindari adalah bagaimana caranya agar instansi pemerintah yang punya prakarsa penyusunan RUU, apabila tidak berhasil di lingkungan pemerintah kemudian mengajukan RUU tersebut melalui DPR.
3. Tujuan dan Lingkup pengaturanTujuan utama penyusunan RUU ini adalah untuk menyeragamkan (menyamakan persepsi) hukum administrasi. Saat ini hukum administrasi di Indonesia sangat beragam, bahkan cenderung sangat sektoral. Oleh karena itu, yang menonjol adalah ego sektoral dari masing-masing instansi. Tujuan lain adalah mensistematisir dan menyederhanakan peraturan perundang-undangan di bidang hukum administrasi yang tersebar. Selain itu, tujuan penyusunan RUU ini juga untuk memberikan perlidungan kepada individu dari tindakan sewenang-wenang yang dilakukan penguasa.
Hal paling utama yang seyogyanya diatur dalam RUU ini adalah mengenai keputusan administrasi yang tertulis. Sebagian besar wujud penyelenggaraan pemerintahan adalah keputusan administrasi yang tertulis. Oleh karena itu, keputusan administrasi yang tertulis merupakan instrumen hukum utama dalam penyelenggaraan pemerintahan. Undang-Undang tentang PTUN menentukan bahwa “Keputusan TUN adalah suatu penetapan tertulis yang dikeluarkan oleh Badan atau Pejabat TUN yang berisi tindakan hukum TUN yang berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku, yang bersifat konkret, individual, dan final, yang menimbulkan akibat hukum bagi seseorang atau badan hukum.”
Pengertian tersebut sangat sempit, dengan unsur “tindakan hukum TUN” tidak mencakup pengertian yang luas. Seharusnya istilah “tindakan hukum TUN” diganti dengan “tindakan hukum publik”, karena istilah tersebut cakupannya lebih luas. Semua tindakan yang termasuk dalam “tindakan hukum publik” akan menjadi objek undang-undang ini. Kemudian, masalah di atas dipersempit lagi dengan bersifat “individual”. Bagaimana dengan keputusan yang bersifat umum atau menjangkau/berlaku umum? Seharusnya keputusan yang berisi tindakan hukum publik yang bersifat umum atau menjangkau/berlaku umum juga menjadi objek undang-undang ini. Yang perlu dipikirkan juga adalah bagaimana dengan tindakan/perbuatan administrasi yang tidak tertulis, apakah menjadi objek UU ini atau tidak.
Hal lain yang perlu diatur dalam RUU ini adalah siapa saja yang termasuk dalam pengertian badan atau pejabat administrasi yang berwenang mengeluarkan keputusan. Kemudian, juga masalah kewenangan dan pelaksanaannya, yang hingga saat ini belum begitu jelas mengenai siapa berwenang untuk apa. Dengan dirumuskannya kewenangan secara jelas sangat membantu kita semua. Megenai pelaksanaan kewenangan, juga perlu ditegaskan mana yang merupakan kewenangan pemerintah pusat dan mana yang merupakan kewenangan pemerintah daerah. Apabila ada sengketa kewenangan, siapa yang berwenang untuk menyelesaikannya, karena UU PTUN tidak berwenang untuk menyelesaikan masalah sengketa kewenangan antarlembaga.

No comments: